"Vanessa."
Gadis itu menoleh, terdapat seorang pria dengan rambut seputih salju.
"Loh! Om yang bawa mami pergi kan? Om ini siapa? Dari muka bukan muka orang Indonesia deh," cerocos Vanessa.
Launez hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Kenapa kamu datang kesini?" tanya Launez pada gadis disampingnya itu.
"Gak tau juga, bosen aja dirumah," balas Vanessa santai.
"Adik-adik kamu?"
Vanessa menyerngit bingung.
"Om ini siapa sih? Kok tau soal keluarga kami?" tanya Vanessa polos. Launez terkekeh kemudian mengusap pucuk kepala gadis itu, bukankah yang diusapnya sekarang seharusnya anak dirinya dan Vika?
"Om?" tanya Vanessa bingung.
"Saya ada urusan, kamu jangan jalan jauh-jauh. Ini bukan Indonesia," pamit Launez lalu pergi.
Vanessa hanya geleng-geleng kepala dengan wajah kesal, kakinya kembali melangkah mengikuti koridor rumah sakit yang begitu besar itu.
"Susah amat nyari tempat buat rebahan!" Selena memperistirahatkan dirinya disebuah kursi panjang. Wajahnya terlihat begitu lelah, ia masih belum mengerti dengan keadaan sekarang. Ada hubungan apa antara ibunya dan lelaki berambut putih itu.
"KYA!" kaget Vanessa saat wajah seorang pemuda berjarak sangat dekat dari wajahnya.
Alevan, pemuda itu adalah Alevan. Ia terkekeh kemudian duduk disamping Vanessa yang terlihat menahan rasa bapernya. Taulah, cewek kan mudah baper.
"Jadi... Kau anak Bibi Vika dan--"
"Stop! Gue nggak ngerti elo ngomong apa, jadi nggak usah ngomong apapun sama gue! Ngerti?"
Alevan terdiam dengan tatapan polosnya, ia berpikir keras berusaha mengerti ocehan gadis itu namun tetap tak bisa.
"Sial... Elo juga nggak ngerti bahasa gue!" ucap Vanessa bangkit dari duduknya. Vanessa bersiap pergi namun Alevan menahan lengannya.
"Temani aku duduk disini."
Vanessa menyerngit dan langsung mendudukkan kembali bokongnya disamping Alevan. Keduanya terdiam beberapa menit, Vanessa bingung apa yang harus ia bicarakan pada pemuda disampingnya itu.
"Megan!"
Sontak saja kepala Vanessa menengok kesamping kanan, terdapat seorang gadis yang mungkin seumuran dengannya. Gadis itu berlari kearah mereka kemudian memeluk Alevan yang sudah berdiri dan membalas pelukan gadis itu.
"Tolong putar lagu mellow dong, gue sebagai jomblo ternista!" jengkel Vanessa melangkahkan kakinya meninggalkan Alevan dan gadis yang tidak ia kenali itu. Tapi tunggu, seperti ada yang menahan lengannya.
Alevan melepas pelukannya namun tidak dengan genggamannya pada lengan Vanessa. Vanessa hanya diam, sementara Megan terlihat tidak suka dengannya.
"Dia siapa?" tanya Megan pelan.
"Kau sedang apa?" tanya Alevan balik. Tak ingin memperumit masalah, Megan hanya tersenyum pada pemuda itu.
"Ayahku baru saja meninggal, dia ditabrak mobil dan... Hiks... Dan aku harus pergi menemui keluargaku yang lain!" Megan langsung berlari dengan berderai air mata.
"Babibubabibu, gue gak ngerti anyink!" maki Vanessa masih dengan tangan yang digenggam Alevan.
Alevan menatap Vanessa dalam diam, genggamannya melonggar. Ia langsung pergi begitu saja tanpa sepatah kata, entahlah. Vanessa juga merasa bodo amat dengan pemuda itu. Vanessa pun kembali melanjutkan langkahnya yang berbeda arah dengan Alevan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Te Amo 2 ( Alevan Dykara )
ActionSebelum membaca, alangkah baiknya jika kalian membaca lebih dulu Te Amo (Revandy Qayro) agar alur dapat dipahami. Alevan Dykara, bagaimana kisah pemuda tampan 17 tahun itu untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Siapa Revan? Mengapa semua orang m...