"Menyebalkan."
Satu kata yang keluar dari mulut Alevan saat kakinya sudah menginjak lantai rooftop kampus. Ia duduk ditepi, dengan kaki yang menjuntai kebawah. Terik mentari membuat matanya menyempit dengan gumaman kekesalan yang kembali terdengar.
"Datang lagi, dengan nama baru. Dia kira aku percaya? Huh!"
Tiba-tiba seseorang mendatanginya dan orang itu adalah Ervan, rektor kampus yang memiliki paras serupa dengan Revandy Qayro.
"Bilang saja kalau kau bosan berada dikelas," ucap Ervan menatap pemandangan sekitar. Baru kali ini ia menginjakkan kaki di rooftop kampus dan ternyata tempatnya seindah ini.
"Aku juga bosan selalu bertemu denganmu," tukas Alevan tanpa menatap Ervan.
"Hey! Ada apa denganmu? Kau punya dendam denganku? Aku bahkan tidak mengenalmu," ucap Ervan duduk disamping Alevan dengan santainya.
"Argh!" Ervan meringis saat Alevan mendorong bahunya, hampir saja ia terjatuh.
"Revan! Kau sangat licik!" umpat Alevan dengan tangan terkepal.
"Revan? Siapa dia---"
"Pergilah!" usir Alevan memotong kalimat Ervan.
"Pergi!!!" Alevan berteriak hingga Ervan terpaksa pergi meninggalkannya dengan rasa penasaran luar biasa. Apa ada dengan anak itu, pikirnya membatin.
"Apa lagi!? Per--"
Alevan menoleh, ternyata Vanessa. Ia menetralkan napasnya dengan ekspresi marah yang masih terlihat. Vanessa bahkan ragu untuk mendekat, sampai tiba-tiba Alevan menepuk tempat disebelahnya memerintahkan Vanessa untuk duduk.
"Kau masih marah?" tanya Vanessa pelan.
"Tadinya," jawab Alevan singkat.
"Apa mungkin, rektor memang bukan Revan. Hanya kebetulan, mirip dengan Revan..." ucap Vanessa membuat Alevan menoleh.
"Dia pasti Revan! Aku berani jamin, dia berlagak menjadi Ervan, rektor kampus. Bagaimana jika, mom tahu, Selena tahu. Aku tak habis pikir, mengapa dia sangat sulit untuk menghilang dari dunia ini!"
Alevan kembali tersulut emosi, tangannya terkepal kuat. Rahangnya merengas menatap lurus kedepan.
"Apa... Artha juga kembali?" gumam Vanessa namun masih bisa didengar oleh Alevan.
"Ayo, tinggalkan tempat ini." Ajak Alevan bangkit lebih dulu kemudian mengulurkan tangannya. Vanessa menerimanya dan mereka pergi dari tempat tersebut dengan perasaan campur aduk.
Di tempat lain, Selena tengah mengerjakan soal yang diberikan pengajar. Ia menulis jawaban dengan cepat dan kemudian satu tangannya terangkat menandakan kalau ia sudah selesai disusul oleh Roman.
"Maju kedepan, kumpulkan tugasmu." Perintah sang pengajar pria. Selena berjalan lebih dulu dan tiba-tiba seseorang mengait kakinya.
Bruk!
"Selena!" panggil Roman kaget saat sahabatnya itu terjatuh kelantai. Tawa dari seisi kelas tak dapat terhindari. Mereka menertawakan Selena sepuas hati.
Pengajar pria itu pun segera membantu Selena bangkit dan ternyata lutut gadis itu sedikit tergores. Tanpa sepatah kata pun, Selena berjalan menuju meja pengajar kemudian menaruh buku tugasnya.
Ia menatap semua orang termasuk Roman dan sang pengajar. Matanya bertemu dengan tatapan anak lelaki yang mengait kakinya tadi. Smirk senyum Selena terlihat, Roman meneguk salivanya, apa yang akan diperbuat Selena.
"Selena, kau tak apa?" tanya pengajar memastikan.
"Tentu saja, aku bahkan pernah mendapat rasa yang lebih menyakitkan dibanding terjatuh dengan lutut tergores," ucap Selena berjalan kembali kekursinya dengan tatapan yang masih tertuju pada anak lelaki itu. Sepertinya anak lelaki itu mulai ketakutan.
"Anak aneh!" teriak salah seorang gadis.
"Wuuu! Aneh!" teriak anak lelaki yang masih menjadi titik pandang Selena.
"Diam!" ucap pengajar kembali duduk dikursinya.
"Heh! Hentikan menatapnya!" bisik Roman pelan.
"Tidak akan," balas Selena enggan mengalihkan titik pandangnya dari punggung anak lelaki itu. Saat anak lelaki itu menoleh, tatapan mereka bertemu.
"Tatapannya seperti pembunuh berantai."
Bisik-bisik kembali terdengar.
"Apa kalian mau menjadi korban selanjutnya?" tanya Selena meninggikan suaranya.
Kelas mulai gaduh, teriakan ketakutan dari anak gadis tak dapat dipungkiri lagi. Sang pengajar bahkan sampai bingung bagaimana mengatasi kegaduhan kelas akibat kalimat yang dilontarkan Selena beberapa detik lalu.
"Selena! Tinggalkan kelas!" perintah pengajar angkat bicara. "Temui aku diruangan kepala sekolah, lagi!" tambahnya guna meredam kegaduhan kelas. Selena bangkit kemudian berjalan.
Krak!
"Aaakh!!"
Anak lelaki yang menjadi incaran Selena meringis kesakitan saat kakinya ditendang dengan sangat kuat oleh Selena.
"Akh!! Sakit! Sepertinya tulangku patah!"
"Tolong!!!"
Pengajar menghampiri anak lelaki itu dengan cepat.
"Sudah ku bilang, masalah yang mencariku. Bukan aku yang mencari masalah." Selena tersenyum pada pengajar dikelasnya kemudian pergi meninggalkan kelas disusul oleh Roman setelah menaruh buku tugasnya dimeja pengajar.
Andai mereka tidak mengganggu Selena, sudah pasti Selena tidak mengganggu mereka. Pikir, Artha. Sang pengajar pria
dikelas Selena."Kau akan terkena masalah, lagi!" ucap Roman frustasi berbicara pada Selena yang hanya diam. Langkah mereka berhenti didepan pintu kantin.
"Ayo, aku lapar!" ajak Selena menarik Roman memasuki kantin sekolah.
Roman pasrah, tingkah Selena barusan semakin membuat mereka ditakuti dan dianggap tak normal oleh anak-anak yang lain.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Te Amo 2 ( Alevan Dykara )
AcciónSebelum membaca, alangkah baiknya jika kalian membaca lebih dulu Te Amo (Revandy Qayro) agar alur dapat dipahami. Alevan Dykara, bagaimana kisah pemuda tampan 17 tahun itu untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Siapa Revan? Mengapa semua orang m...