37. Waktu

567 93 23
                                    

Beberapa jam kemudian, Selena tidur dengan lelapnya. Alevan masih terjaga meskipun tubuhnya terasa penat. Tiba-tiba seseorang berpakaian seperti pelayan keluar dari cafe.

"Buka jam sebelas siang, yang benar saja!" gumam Alevan merebahkan kepalanya pada stir mobil dengan tatapan tertuju pada Selena.

"Kita sudah sejauh ini, tidak mungkin mom melakukan hal yang mustahil. Untuk melupakan nya saja ia tak bisa, mana mungkin mampu mencari orang lain."

Alevan bicara sendiri memandangi Selena yang benar-benar tidur dengan lelapnya.

Alevan tersenyum tipis. Tangannya bergerak menyentuh pipi Selena yang seperti tomat itu, kening, hidung mancungnya, kemudian pada bibir tipis merah merona adiknya.

"Bayanganmu selalu ada dalam fantasi liarku," ucap Alevan menghentikan jemarinya pada bibir Selena.

"Aku juga tak mengerti," ucap Alevan lagi.

Alevan mendekatkan tubuhnya menipiskan jarak antara dirinya dan Selena. Tatapannya tertuju pada wajah damai gadis itu dengan bibir yang sedikit terbuka.

Saat bibir Alevan menyentuh pipi Selena secara perlahan. Tiba-tiba ponsel berdering membuat ia harus menjauh lalu menerima panggilan tersebut dan ternyata si penelepon berasal dari nomer tadi malam.

Alevan menggoyangkan bahu Selena, berharap adiknya itu segera bangun lalu menjawab kalimat yang akan dilontarkan pria itu.

"Aku sudah didalam, sepertinya kau sedang menyetir. Baiklah, aku matikan saja."

Tut!

"Ada apa?" tanya Selena mengusap matanya pelan.

"Ayo! Dia sudah didalam!" ucap Alevan lalu turun dari mobil dengan penuh semangat.

Alevan berdiri diambang pintu disusul Selena yang nampaknya masih belum sadar sepenuhnya. Ia menatap setiap pria yang duduk.

"Aku masih mengantuk," ucap Selena menyenderkan kepalanya di pintu.

Ting! Ting! Ting!

Lonceng berbunyi beberapa kali membuat perhatian pengunjung tertuju pada ambang pintu, tidak terkecuali pria yang tengah berkutat dengan laptop dengan setelan jasnya.

"Tidak mungkin..." gumam Alevan mengeluarkan ponsel milik sang ibu lalu menghubungi nomer tidak dikenal.

Pria itu nampak mengambil ponselnya kemudian menempelkannya pada telinga setelah panggilan tersambung.

"Sialan!"

Alevan mengumpat melangkah cepat menghampiri Ervan sang rektor kampus kemudian menarik kerah bajunya.

"Apa maksudmu!? Kau masih menghubungi, Mom!?"

"Hei! Kendalikan dirimu! Aku tak mengerti!?" Ervan tersentak kaget atas perlakuan pemuda yang belum dikenalinya dengan jelas.

"Argh! Revan sialan!"

Hampir saja tampan Alevan melayang pada pria yang tiada lain adalah Ervan El Alexander. Namun perhatian seisi cafe tertuju pada seorang gadis berseragam sekolah yang tiba-tiba terjatuh tergeletak dilantai.

"Selena!"

Alevan menghampiri adiknya dengan emosi bercampur antara marah dan bingung. Mengapa ia sampai mempermalukan dirinya sendiri seperti tadi.

"Hah?" Selena bergumam pelan.

"Kasurku terasa keras," gumam Selena lagi.

"Bangun! Bodoh..."

Te Amo 2 ( Alevan Dykara )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang