EPILOG

138 8 19
                                    

Selama perjalanan mereka diam tidak ada pembicaraan, begitupun dengan Alif tidak ingin kembali bicara karena dia tahu Aqila sedang tidak dalam mode baik untuk membahas ini.

Duduk ditepi ranjang menghadap ke arah balkon dengan tirai jendela berhembusan karena angin dari luar yang menyejukkan, sambil menatap langit yang hampir berwarna jingga itu dan memiliki kesan tersendiri.

"Dek"

"Adek"

"Aqila"

"Untuk apa lagi? Semuanya sudah jelas kan!" Jawabnya dingin karena capek dengan panggilan itu. Tidak menghiraukan ucapan itu Alif duduk disamping Aqila dan menggenggam erat jari nya. Semakin Aqila berusaha melepaskan semakin kuat pula genggaman Alif padanya. Akhirnya Aqila menyereh.

"Lihat Abang, dengerin semua yang Abang bilang dan jangan potong sebelum selesai" ucap Alif sambil menatap mata Aqila dalam. Tidak ada jawaban ataupun anggukan Alif mulai bicara. Walau Aqila membuang mukanya dari hadapan Alif.

"Setelah dua tahun tidak bertemu, Abang baru menyadari beberapa hal. Tentang ucapan yang tidak bisa dilupakan, tentang rasa yang tidak bisa disembunyikan, dan tentang dirimu yang harus ku pertahankan. Itu semua adalah jawaban dari doa-doa yang selalu ku panjatkan dek" jika Aqila paham apa maksudnya dari ucapan itu mungkin dia akan bahagia, tapi nyatanya itu adalah ucapan ter absuard yang pernah ia dengar.

Tidak tatapan yang penuh dengan emosi Alif lihat. Tapi seribu kerutan di kening terpampang jelas disana. Melihat itu Alif tersenyum dan kembali bicara dengan serius. Walau Aqila sepertinya masih berusaha menunjukkan bahwa ia sedang marah tapi tak menampik bahwa rasa penasaran yang ia miliki bisa Alif rasakan. Walau dia tidak menunjukkan.

"Aqil tau rasa bersalah apa yang Abang maksud?"

Jedeerr. Benar dia sendiri tidak tahu rasa bersalah karena apa yang dimaksud Alif. Tapi kenapa dia bisa marah dan emosi? Atau karena jawaban Alif tak sesuai dengan harapan yang ia pikirkan, bukan jawaban itu yang ia inginkan tapi jawaban lain.

"Rasa bersalah karena ulah perbuatan Abang sendiri. Abang tau Abang salah karena telah melakukan sesuatu hal yang Abang sendiri tidak memikirkan gimana kedepannya. Abang menjauh, menghindar, dan memberi tatapan tidak suka atau terlihat seperti membenci itu ada alasannya Qil. Apa yang Aqil tau? Karena persaingan nilai? Peringkat? Prestasi? Itu kan" ucap Alif sambil menggelengkan kepala.

"Itu semua hanyalah alasan yang dibuat dari pihak tidak bertanggung jawab, mereka yang sering menyebar hoax. Itu bukanlah alasan yang sebenarnya, tapi kenapa Abang hanya diam disaat mereka mengatakan kebohongan? Itu karena Abang lihat Aqil juga mempercayainya, semenjak ada alasan itu Aqil perlahan menjauh, tidak lagi berusaha untuk mencari alasan" Alif mengambil jeda sejenak sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

"Dan itulah yang Abang inginkan, tidak perlu lagi Abang katakan alasan yang sebenarnya. Karena sisi positif dari alasan yang mereka buat itu adalah Aqil yang semakin giat belajar, begitupun Abang yang berusaha untuk tidak menyangkut pautkan hal apapun dan kembali fokus kepada pendidikan." Semakin kesini semakin Aqila tidak mengerti. Jika bukan itu alasannya lantas apa alasan yang sebenarnya? Menyangkut pautkan hal lain, apa maksud dari hal lain?

"Tau kenapa Abang lakukan itu semua?" Gelengan kepala sebagai jawaban dari Aqila. Ya dia sekarang sudah berhadapan dengan Alif.

"Itu karena Abang menyukaimu Qil, awalnya rasa suka itu Abang rasa adalah hal wajar karena kagum melihat ketaatan mu, tapi hari demi hari rasa itu berkembang dan Abang tidak mau itu terjadi, dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Abang dari perasaan semu yang tidak jelas Abang miliki itu, adalah dengan cara menjauhi mu dan membuatmu membenci Abang. Namun nyatanya Abang salah semakin Abang menjauhi mu semakin pula Abang tersiksa karena melihatmu sedih karena perlakuan Abang."

Takdir Yang Menentukan [End] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang