"malu" cicitnya ketika dirinya didesak oleh Nindi, kenapa Aqila terus diam dan menunduk disaat Alif bertanya tadi? Dan sekarang ketika mereka duduk di bangkunya pun Aqila tetap menunduk.
"Huft" Nindi menghela nafas panjang, seharusnya dirinya tidak bertanya karena sudah pasti Aqila akan malu disaat seperti itu.
"Gimana masih berdenyut?" Katanya mengalihkan topik.
"Sudah mendingan" jawab Aqila sambil mengusap kepalanya yang terbentur itu. Dan sesekali ia meringis.
"Jangan disentuh nanti makin sakit"
Deg
Tidak hanya Aqila yang kaget tapi Nindi juga begitu, kapan Alif ada didekat mereka? Sambil membawakan salep pula?. Menutupi kekagetannya Nindi berbicara.
"Iya tu dengerin Alif, nanti makin sakit. Eh, btw Lo yang ngambil salepnya?" Tanya Nindi.
"Hemm" setelah menjawab dengan deheman, Alif kembali keluar tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Nindi dan Aqila kembali di buat ternganga olehnya, bingung, Alif itu niat ngasih obat atau gimana sih?. Nindi mengalihkan pandangannya pada Aqila dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kenapa?" Tanya Aqila pada akhirnya, ia sendiri bingung kenapa orang-orang disekelilingnya itu aneh-aneh. Belum sifat Alif yang sangat sulit ia tebak dan sekarang Nindi pula yang membuatnya bingung. Apakah ada yang salah dengan dirinya?.
"Kenapa Alif perhatian sama Lo?"
"Ha? Apa Aqil nggak salah dengar ini? Alif perhatian sama Aqil? Astaghfirullah itu nggak mungkin terjadi" jawabnya menggelengkan kepala, kenapa Nindi bisa berpikiran seperti itu?
"Kenapa nggak mungkin, buktinya saja dia rela-relain pergi ke UKS hanya untuk mengambil salep untuk Lo" Aqila menggeleng, tidak habis pikir dengan sahabatnya ini.
"Kamu ini gimana sih Nin, mungkin saja dia itu emang ada urusan kesana kan. Jadi sekalian aja dia bawa salep" Aqila membantah ucapan Nindi.
"Enggak, kalo dia emang ada urusan kesana, untuk membawa salep itu sepertinya nggak akan ia ingat kecuali emang itu yang ia cari. Jika Lo bukan alasannya untuk apa dia membawa salep" Aqila terdiam, ada benarnya juga.
"Tapi Nindi, coba kamu ingat. Mungkin memang benar Alif bawa salep untuk Aqil, tapi dia melakukan itu karena dia juga punya hati dan dia peduli, mungkin saja dia melakukannya hanya karena tidak bisa melihat orang lain kesakitan yang ada disekitarnya. Benarkan?"
Nindi terdiam, apa yang Aqila katakan itu benar tapi kenapa hatinya menyangkal bahwa bukan itu yang sebenarnya terjadi pada Alif. Soalnya inilah yang pertama kali Nindi melihat Alif peduli pada perempuan. Biasanya dia hanya cuek saja. Wajar Nindi berpikiran seperti itu bukan?
"Ya, semoga saja itu memang benar dan tidak ada perasaan lain yang dirasakan Alif" perkataan Nindi barusan membuat Aqila terkekeh. Emang perasaan yang lain apa dirasakan oleh Alif? Ada-ada saja.
"Nindi-Nindi, kamu ini ya aneh-aneh saja. Jangan terlalu berpikir deh, nanti kamu cepat tua" tetap dengan kekehannya.
"Gue serius Qil, ini pertama kali gue melihat Alif yang peduli pada perempuan biasanya--"
"Biasanya apa? Biasanya dia cuek dan tidak mau berurusan dengan perempuan kan? Itu yang pengen Nindi katakan?" Aqila tersenyum sebelum melanjutkan kalimatnya "dia memang cuek Nin, tapi dia itu sangat menghargai perempuan, secuek-cueknya dia, tapi dia nggak pernah mengeluarkan kata-kata kasar pada perempuan atau kata-kata yang akan merendahkan perempuan. Nggak pernah kan? Itu karena dia mengerti perasaan perempuan. Dan mungkin saja, dia cuek karena tidak ingin memberikan harapan kepada perempuan yang selalu mengganggunya" jelas Aqila. Sekarang Nindi yang dibuat heran.
"Wow, Lo tau dari mana itu semua? Jangan bilang kalian sering chattan!"
"Kami chattan kok Nin, tapi seputar tugas. Nggak lebih"
"Lo yakin?" Tanya Nindi kurang menyakinkan. Aqila terkekeh.
"Kalo nggak yakin, lihat sendiri chattnya, nggak ada yang lain selain tugas" sambil mengeluarkan Handphonenya tapi ucapan nindi selanjutnya membuat dirinya tidak jadi mengeluarkan handphone.
"Kalo begitu, terus lo tau darimana Alif itu cuek karena tidak ingin memberikan harapan?" Sekarang Aqila diam, memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan. Ia bingung memulai dari mana.
"Sebenarnya itu adalah sebuah anggapan Aqil saja, karena Aqil sering melihatnya sendiri. Ketika ada perempuan yang menganggunya Alif akan cuek, tapi ketika mereka memberikan Alif sebuah hadiah atau kado, Alif tidak pernah menolaknya. Dan itu dia lakukan karena menghargai pemberian, tapi setelah itu dia mengatakan 'jangan pernah berharap lebih pada gue' ucapnya setelah itu berlalu pergi. Dan itu yang membuat Aqil percaya bahwa dia sangat menghargai wanita karena dia tidak mengatakan hal-hal yang akan membuat martabat perempuan rendah dimatanya"
"Dan Aqil yakin Alif itu orangnya baik, dia nggak seburuk yang terlihat" ucapnya panjang lebar. Ya setidaknya Nindi mengerti kenapa dirinya mengatakan itu.
"Ya kayaknya penjelasan Lo nggak salah, tapi sekarang gue bingung, kenapa Lo selalu berprasangka baik pada Alif? Lo suka ya sama dia?" Ucapan Nindi membuat Aqila menepuk jidatnya.
"Aduh" lupa, Aqila lupa bahwa keningnya lembam, ditambah dengan tepukan tangannya. Bisa dirasakan seberapa sakit dan berdenyutnya kening itu.
"Itu makanya jangan tepuk jidat, awas tangannya. Biar gue olesin dulu salepnya" ucap Nindi menurunkan tangan Aqila dan mengomeli Aqila. Sudah jelas sakit malah ditepuk lagi.
Seandainya Nindi tahu, bahwa Aqila menepuk jidatnya sendiri karena ulah perkataan Nindi.
"Aqil yang nggak habis pikir dengan kamu Nin, kenapa kamu nggak pernah berprasangka baik pada Aqil?" Ucap Aqila setelah Nindi mengolesi salepnya.
"Gue selalu berprasangka baik pada Lo Qil, tapi terkadang cara pikir Lo yang bikin gue berprasangka buruk. Karena setiap ucapan Lo itu, nggak pernah yang buruk jika bersangkutan dengan Alif" tolak Nindi, ketika perempuan sama perempuan berbicara tidak akan ada diantara mereka yang mau mengalah.
"Dan sekarang coba perbaiki lagi hati kamu Nin, kenapa kamu selalu berprasangka buruk pada Alif?"
"Bukan gue berprasangka buruk pada dia tapi--"
"Kamu tidak berprasangka buruk pada dia, tapi kamu berprasangka buruk pada Aqil yang selalu menyebut kebaikannya?. Duh, salahnya dimana sih Nindi?" Tanyanya geram.
"Sebenarnya gue yakin ada sesuatu diantara kalian" dan sekarang Nindi menjadi paranormal. Aqila benar-benar pusing dibuatnya.
"Terserahlah Nin, Apa kata mu aja. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, jangan pernah menilai seseorang dari luarnya saja karena kamu nggak tahu bagaimana dia dihadapan Tuhannya. Jangan berprasangka buruk pada siapapun sebelum mengetahui kebenarannya"
"Ayok Nin, temani Aqil ke WC bentar, berbicara padamu bikin Aqil kebelet pipis" Aqila Aqila, ada-ada saja yang bisa ia buat bercanda.
"Dasar" cebik Nindi tapi tetap mengikuti langkah Aqila.
"Makasih ya, karena sudah ngolesin salepnya"
"Iya tapi Lo harus terimakasih juga pada Alif karena dia yang bawain salepnya" mendengar itu Aqila berhenti melangkah dan menatap Nindi.
"Kenapa?" Tanya Nindi.
"Aqil nggak berani berbicara padanya, apalagi melihat orangnya" bisik Aqila.
"Loh kenapa?" Sekarang Nindi yang dibuat tertawa.
"Karena Aqil takut lihat mata dia yang tajam itu" bisik Aqila kembali dan akhirnya sekarang Nindi benar-benar tertawa.
"Tadi katanya Alif itu orang yang baik tapi kenapa sekarang Lo takut berhadapan dengan dia?"
"Iya, tapi Aqil nggak berani melihatnya. Aqil masih malu" cicitnya lagi.
"Ooh, gara-gara tadi ya? Ya udah deh, gue paham. Sangat paham" jawab Nindi sambil mengejek dan segera melangkahkan kakinya yang sempat tertunda.
"Aish, Nindi menyebalkan"
Sebaik-baik bacaan adalah Al-Qur'an 💕
Jangan lupa pencet bintang 🌟 dipojok kiri bawah ini ya, dan tinggalkan komentarnya:).
Salam hangat dari Zi❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Yang Menentukan [End] ✅
Teen Fiction{Part Lengkap} Bagaimana jadinya jika seseorang yang awalnya bersahabat baik tiba-tiba menjadi diam tanpa alasan yang jelas? Waktu demi waktu jarak itu tercipta sangat jauh. Itulah yang dirasakan oleh Afifah Mariah Aqila seorang perempuan manis nan...