⚠️ Sudah di revisi💜⚠️
Hari baru, lembaran baru, dan cerita baru. Harapannya di hari yang cerah ini, dia bisa mendapatkan kebahagiaan, entah itu berupa uang satu box, atau uang sebanyak dua koper, atau dia bisa menemukan black card di jalan.
Tidak masuk akal memang, tapi Azura hanya berpikir realistis, uang itu tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi kebahagiaan diciptakan dari uang, iyaaa... Kurang lebih begitu adanya.
Tak terasa dirinya sudah mulai menjalankan aktivitas sekolah selama seminggu lamanya. Siklus hidupnya mulai berubah, mulai dari bangun pagi lalu pergi ke sekolah, bersekolah, pulang sekolah dia langsung ketempat kerja, pulang, mengerjakan tugas dan istirahat.
Entah itu bisa disebut bahagia atau tidak, tapi Azura cukup suka dengan kehidupannya yang sekarang ini. Dia bebas bisa melakukan apapun, tanpa takut akan sesuatu.
Kalau boleh jujur, Azura sedikit kesepian, dia tinggal di rumah sendirian, serta tidak ada teman mengobrol, apalagi Hilwa tidak menghubunginya terhitung sudah lima hari, entah kemana anak itu.
Dan perihal orang yang mengaku sebagai adik kembarnya itu, sampai saat ini belum ada tanda tanda dia menerima pesan dari orang itu. Mungkin karena Hilwa juga, dia sudah tidak aktif selama lima hari kan.
Sekarang ini dirinya tengah berada di sebuah caffe, tempat dia bekerja. Dia baru empat hari disini, bersyukur karena dia tidak susah diterima kerja. Mungkin karena dia juga sudah berpengalaman menjadi waiters.
"Zura lo pucet banget, pasti belum makan lagi kan lo?" Azura melirik ke arah Rani, dia partner kerja Azura, tiga tahun lebih tua darinya.
"Ehehe iya mba, aku lupa belum makan, habis ini deh aku makan, tanggung mba."
"Tanggung tanggung, tanggung malaikat maut bentar lagi sampe iya?" Azura meringis, omongan mbaknya ini memang kadang rada rada nyelekit, tapi memang betul begitu adanya.
"Iya bukan gitu mba, ini loh bentar lagi jadi pesanannya, janji deh satu kali ini aja, habis itu-"
Sret
Nampan di tangan Azura direbut oleh Rani, Azura hanya bisa menurut kalo sudah begini.
"Sek, biar mba aja yang nganter pesanan ini, meja nomor berapa?"
"Mbak jangan galak galak gitu, nanti pelanggannya kabur semua." Azura terkekeh ketika wajah Rani menjadi memerah padam, sepertinya amarah mbaknya ini akan meletup-letup.
Azura berjalan mundur, dengan wajah yang setengah meledek kearah Rani, "Nomor 19 itu mbak."
"Oke, gih makan dulu, repot kan kalo nanti lo mati, gue kesepian lagi yang ada."
"Mbak mulutmu itu pengen aku jejelin sepatunya pak Haryo."
"Tak aduin ya kamu!" Azura malah tertawa lepas, dia segera berlari menuju ruang istirahat.
Rekan kerja yang lain sudah mulai membiasakan diri dengan ocehan ocehan antara Rani dan Azura, ya mereka memilih untuk memaklum daripada harus menegur mereka berdua, itu sia-sia nyatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOUBLE A [COMPLETED]
Ficção AdolescenteSejauh apapun semesta memisahkan, jika garis takdir mereka adalah bersama, maka Perpisahan ini takkan abadi. Dipisahkan oleh semesta lalu dipertemukan kembali oleh takdir. Takdir dan semesta memang satu kesatuan , tapi mereka tak selamanya berada di...