23. Di Kala Senja

166 21 5
                                    

🐰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐰

Caka yang sudah selesai menaruh tumpukan buku paket Bahasa Indonesia, langsung pamit pada Bu Tike, penjaga perpustakaan. Dia  mengembalikan buku paket yang tadi kelasnya gunakan untuk pembelajaran. Tanpa diminta, seusainya pembelajaran Caka menawarkan diri untuk membawakan buku tersebut ke perpustakaan.

Caka boleh saja terkenal savage di sekolah, namun dia cukup tahu tata krama dan selalu membantu guru-gurunya jika dibutuhkan. Walau tak jarang juga sering membolos dan tidak memperhatikan saat pelajaran. Dia selalu berkata bahwa hidup tidak selalu tentang hal-hal yang baik, tapi juga harus diselingi dengan sesuatu yang bersifat nyeleneh, agar nantinya akan indah saat dikenang.

Saat tengah menggunakan sepatu, Tamara tiba-tiba menghampirinya. Hari ini gadis itu ada janjian dengan Bang Banyu setelah sekolah, jadi dia ke sini untuk memastikannya pada Caka.

"Kok belum cabut juga sih lo? Bang Banyu udah neror gue, nih!" Caka menunjukkan ponselnya yang menampilkan kurang lebih tiga puluh chat dari abangnya.

Tamara menghela napas. "Ngapain sih abang lo ngajak ketemuan segala, kayak orang pacaran aja,"dengkusnya.

"Gue yakin deh lo bakal suka. Udah sana! Buru, sebelum gue yang disembelih." Caka mendorong pelan punggung sahabatnya. Bayangkan saja, Bang Banyu sampai meliburkan diri khusus untuk menemui Tamara hari ini.

Dengan ogah-ogahan, Tamara pun bangkit lantas berlalu meninggalkan Caka yang tersenyum tipis. Diam-diam cowok itu menguntai doa baik untuk abang dan sahabatnya itu.

Setelah menalikan sepatunya, Caka bangkit. Gerakan kakinya yang hendak melangkah seketika urung saat dia melihat seorang laki-laki paruh baya menyapu di depan aula yang bersebelahan dengan perpustakaan.

"Pak Sarip!" sapa Caka dengan semringah.

Laki-laki dengan tubuh kurus dan peci yang menaungi kepalanya itu lantas menoleh dan tersenyum kala mendapati Caka di belakangnya.

"Eh, Mas Caka ...," balas Pak Sarip seraya tersenyum. "Belum pulang?"

Caka menggeleng. "Belum, Pak. Mau di sini dulu."

"Oh, iya ...." Caka tiba-tiba membuka tasnya, lalu mengeluarkan dua bungkus roti selai. "Satu buat Bapak, satu buat saya."

Pak Sarip tersenyum, lalu menerima sebungkus roti itu. "Terima kasih, Mas Caka."

Caka memang begitu. Dia selalu menyimpan makanan di tasnya, yang nantinya akan dia berikan pada orang-orang membutuhkan yang dia temui. Hal sederhana yang selalu membuatnya merasa hidup.

Caka pun mengajak Pak Sarip duduk di bawah sebuah pohon saat pekerjaan beliau usai. Di antara murid-murid di sekolah itu, hanya Caka yang selalu baik bahkan dekat dengannya. Caka memang tidak pernah pandang bulu dalam bergaul. Dia bahkan mengenal baik hampir seluruh warga sekolah. Entah itu Pak Satpam, Ibu Kantin, maupun staf tata usaha.

Kolase Bratadika [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang