7. Tidak Ingin Diketahui

299 40 3
                                    

🐰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐰

"Abang!"

Sekitar sepuluh orang anak berumur sepuluh tahunan yang terdiri dari tujuh anak lelaki dan tiga anak perempuan itu berlari ke arah seorang cowok yang menenteng sesuatu di tangannya.

"Halo! Udah nunggu lama, ya?" Caka membungkukkan tubuhnya, mensejajarkan tinggi dengan anak-anak itu.

"Belum, kok, Bang." Salah satu anak lelaki yang terlihat paling besar di antara mereka menjawab

"Karena Abang dapet bonus gajian, lauk untuk makan hari ini ada ayamnya, yeay!" Wajah riang yang disertai sorak sorai anak-anak itu langsung terdengar. "Nggak sabar, kan? Yuk ke sana!"

Caka berlajan menuju sebuah pohon nangka yang rindang, diikuti oleh anak-anak itu bak induk ayam yang menggiring anak-anaknya. Mereka lantas duduk di bawah pohon itu beralaskan tikar lusuh yang telah sobek di beberapa bagiannya.

Caka membagi rata nasi bungkus yang dia bawa kepada anak-anak tersebut. Setelah berdoa, mereka menikmati nasi bungkus dengan sangat lahap. Terlebih, di dalam nasi itu ada lauk ayam goreng yang jarang bisa mereka makan. Makan ayam dalam setahun sekali saja sudah sangat mereka syukuri.

"Gimana, enak?" tanya Caka dengan raut semringah, melihat bagaimana lahapnya mereka dan wajah penuh syukur itu.

"Enak banget, Bang!" jawab mereka dengan kompak.

"Semoga Abang sering-sering dapet bonus biar kita bisa makan ayam lagi," celetuk Didit, bocah bertubuh gempal dan kepala botak dengan wajah polosnya.

Caka tersenyum tulus, lantas bergumam, "Aamiin ...."

Cowok itu kemudian melanjutkan kegiatan makannya. Ya, Caka ikut makan bersama mereka. Seolah ikut menikmati hidangan sederhana yang dia bagi kepada anak-anak itu.

"Ada cerita apa aja hari ini?" tanya Caka kembali menginterupsi.

"Tadi hasil mulungku dapet sepuluh ribu, Bang. Lumayan bisa buat beli obat Ibuk."

"Aku tadi belajar hafalan huruf abjad, Bang. Udah sampe P nih!"

"Aku latihan baca iqra udah sampe 'La', Bang."

"Aku bantu Ibuk nyuci di kali, Bang!"

"Bagus!" komentar Caka dengan tulus.

Caka tersenyum semringah mendengar cerita anak-anak penuh mimpi ini. Dua tahun dia mengenal tempat ini. Kampung kumuh pinggiran rel kereta api yang jauh dari layak untuk ditinggali. Pemulung adalah mata pencaharian mayoritas penduduk di kampung ini.

Kolase Bratadika [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang