51. Titik Nadir

214 24 3
                                    

🐰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐰

Di ujung lorong rumah sakit yang gelap dan sepi, Banyu dan Wildan duduk berdampingan dengan tatapan menerawang ke depan. Keduanya begitu terpukul mengetahui fakta penyakit yang diderita Naka.

Sebagai kakak, keduanya merasa gagal untuk menjaga Naka. Mereka bahkan tidak bisa mengerti perasaan adik mereka sedikit pun. Hingga Naka harus merasakan rasa sakitnya sendirian. Andai semenjak Mami meninggal mereka langsung merangkul dan bersama Naka, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

Sampai saat ini Naka belum sadarkan diri dan masih dalam penanganan dokter. Hanya Wildan dan Banyu yang masih tetap tinggal di rumah sakit. Cilla dijemput oleh Haris dan kekasihnya untuk menginap di rumah Om Gun.

Om Gun dan Tante Jia belum ditemukan keberadaannya. Dan inilah yang membuat batin mereka berkecamuk. Satu masalah belum usai, dan masalah lain justru menghunjam bertubi-tubi seolah tidak memberikan keluarga ini ketenangan.

Sementara itu, Papi Adul sudah pergi sejak sejam lalu, entah ke mana. Semua tentu tahu betapa hancurnya pria paruh baya itu. Caka menyusul pergi lima belas menit setelah papinya.

Tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Saat ini Banyu dan Wildan hanya fokus pada Naka. Bahkan Banyu yang masih berjalan mengenakan tongkat nekat ikut ke rumah sakit.

Suara helaan napas panjang terdengar memecah keheningan. Banyu mencoba mengusir rasa sesak di dadanya. Perlahan, dia mengubah posisi duduknya agar menghadap Wildan.

"Kenapa masalah di keluarga kita dateng bertubi-tubi gini, sih, Wil?" tanya Banyu retorik. "Dan Naka ... selama ini bahkan kita nggak bisa ngertiin dia. Gue kayak ngerasa jahat banget gitu nggak bisa jadi abang yang baik buat Naka, bahkan mungkin buat kalian semua."

Wildan tertunduk. "Gue juga nggak tahu, Bang. Gue kira, selama ini figur gue udah cukup buat jaga kalian. Tapi gue salah besar. Gue bahkan nggak bisa masuk ke dunia Naka dan coba buat memahami dia." Matanya kemudian terpejam guna mendeteksi seberapa perih batinnya saat ini.

"Wil ... gue paling nggak bisa lihat Papi terpuruk. Lo tahu? Pas gue kecelakaan kemarin aja, beliau udah menderita banget. Dan sekarang gue nggak bisa bayangin gimana hancurnya Papi.  Tadi aja gue langsung pergi setelah denger penjelasan dokter. Gue nggak sanggup lihat muka sedih Papi Wil. Rasanya, hati gue perih banget." Suara Banyu bergetar. Rasa sesaknya semakin terasa dan minta untuk segera diluapkan. Namun, Banyu terus menahannya.

"Gue juga nggak sanggup, Bang. Gu-gue juga bingung sekarang harus gimana. Dan gue bahkan nggak bisa nenangin Papi, gue nggak tahu caranya. Gue terlalu lemah buat itu." Dengan nada bicara yang terbata-bata Wildan memgangkat wajahnya. Tatapannya tampak sayu dan diliputi keputusasaan.

Kolase Bratadika [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang