65. Senandung Kehilangan

325 28 7
                                    

🐰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐰

Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Para pelayat yang ikut tahlilan juga sudah pulang. Kini yang tersisa hanya serpihan duka yang mendalam.
Caka benar-benar pergi. Semua bagaikan mimpi di siang hari yang sulit untuk dipercayai.

Di ambang pitu kamarnya, Naka mematung. Semua tentang Caka ada di ruangan ini. Bagaimana mungkin dia sanggup untuk berada di tempat yang mengukir berbagai kenangan tentang dirinya dan Caka?

Dengan sedikit linglung, Naka melangkah masuk. Namun, saat menapaki langkah kedua, wajah Caka tiba-tiba terlintas di bayangannya. Baru kemarin malam cowok itu tertawa lepas bersamanya. Dan kini dia telah tiada

Sepulang mengantarkan Laila, Caka tiba-tiba ikut berbaring di ranjang Naka yang sontak membuatnya yang tadinya telah terlelap itu kembali terjaga.

"Lo ngapain?"

Naka yang melihat Caka menenggelamkan wajahnya di balik guling pun mengernyit heran.

"Jangan banyak tanya, gue lagi ambyar."

Sudut bibir Naka sontak berkedut. Dia sudah tahu pasti apa yang melatarbelakangi kegalauan sang saudara kembar.

"Laila?" Naka bertanya dengan wajah yang meledek.

Caka yang tengah kesal pun akhirnya memukul sang saudara kembar dengan guling. "Dibilang jangan banyak tanya! Gue lagi patah hati. Nyesek banget, Woy!" Caka berteriak seolah melampiaskan sesuatu.

Mereka pun sontak saling terdiam dalam durasi waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya, Caka melirik Naka. "Ka, yuk cerita apa aja. Yang lucu-lucu aja gitu. Gue males galau mulu. Nggak enak rasanya."

Naka pun mengangguk. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama untuk keduanya tertawa. Menertawakan hal-hal sederhana di masa kecil mereka.

Dan sebelum akhirnya tawa itu berakhir, Caka melontarkan kalimat permintaan yang tidak sempat disanggupi oleh Naka. Kalimat yang kini disadari sebagai pesan terakhir dari Caka.

Tubuh Naka saat ini sudah meluruh ke lantai. Isakannya kini pecah seiring dengan air matanya yang mulai bercucuran.

Naka ingin marah. Marah pada takdir yang telah merenggut Caka dari keluarganya. Padahal dirinya baru ingin bangkit. Namun, sayap yang selama ini melindunginya telah patah dan lenyap begitu saja.

"King, gue ... gue nggak bisa tanpa lo. Apa lo udah capek lindungin gue? Iya?"

Di balik pintu kamarnya, Naka meraung. Dia tak peduli lagi dengan apa pun. Hingga perlahan tubuhnya tergolek tak berdaya di lantai. Matanya dipenuhi kristal bening yang membuat pandangannya memburam.

Kolase Bratadika [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang