60: Kebohongan dan Keyno

1.5K 263 39
                                    

—0—


Gadis berambut panjang itu berdiri di dekat jendela. Tangannya melipat di depan dada, sedangkan iris mata coklatnya asik memandangi langit, mengangumi sang bulan serta diam-diam memuji si matahari.

Sudah jam sembilan malam, namun masih belum ada tanda-tanda gadis itu akan masuk ke dalam. Tangannya merapatkan selimut yang melorot, merasakan dingin kota Bandung yang cukup menusuk kulit.

Pintu kamarnya terbuka saat si gadis sudah hampir tenggelam dalam lamunan. Suara laki-laki yang belum sepenuhnya mengalami masa pubertas itu berhasil memecah hening yang sempat hanya di isi oleh suara jangkrik di halaman.

"Kak, ayah belum pulang?" tanya Ardan, mengalihkan sepenuhnya perhatian Rhea. 

"Belum, ada apa?" Ardan perlahan masuk, lantas  menghampiri sang kakak dan berdiri di hadapannya.

"Ardan nitip martabak," jawabnya.

"Mungkin ayah ada urusan penting Ar." Pemuda itu mengangguk pelan, namun tidak menginjakkan kaki untuk pergi, ia masih menatap sang kakak.

Tangannya membenarkan selimut yang membaluti tubuh Rhea, "Ini udah malam kak," ujarnya dengan mata melirik ke arah jendela yang di buka lebar.

"Malam ini udaranya dingin, jangan terlalu lama berdiri di depan jendela, nanti sakit," sambungnya membuat senyuman tipis hadir di bibirnya.

"Bulannya lagi bagus, langit di malam ini cerah."

"Langit cerah ga akan indah kalau kakak sakit," timpal Ardan serius. Rhea tertawa kecil.

"Iya, sebentar lagi kakak tutup jendelanya."

Ardan mengehela nafas mendengar ucapan sang kakak. "Mau Ardan buatkan teh hangat?"

"Ga perlu, selimut ini aja udah cukup hangat Kok!" Rhea merapatkan selimutnya kembali, Ardan hanya diam memperhatikan.

"Tadi kakak melamun, lagi ada masalah?"

Mata gadis itu tidak beralih dari selimutnya, sedikit terkejut oleh ucapan sang adik yang seakan tepat menusuk jantungnya.  "Memang kalau kakak melamun artinya lagi ada masalah?"

"Ardan ga tau kak. Memangnya kalau lagi ada masalah, kakak tidak melamun?" Tanya Ardan balik dengan tatapan polos, membuat Rhea gemas sendiri. Tangannya mengacak-acak rambut Ardan.

Ia tersenyum lebar saat akan menyampaikan kebohongan, "Kakak melamun mikirin buku tugas matematika yang hilang."

Ardan terdiam, memperhatikan wajah sang kakak yang tengah tersenyum cerah. "Mau Ardan bantu buat cari kak?" Tawarnya.

"Udah kakak cari, kayaknya sih di pinjam teman. Nanti kakak tanyain ke teman sekelas." Rhea menolak bantuan Ardan. Pemuda itu kini tidak lagi berwajah serius, ia tersenyum maklum.

Suara motor membelah malam, tanda sang ayah yang sejak tadi di tunggu akhirnya pulang. Ardan menepuk pelan pundak Rhea yang terbalut selimut, membuat gadis itu kembali menatap Ardan. Mata coklat tua yang sedang menatapnya teduh, berbeda jauh dari rumor tentang adiknya yang berhati dingin.

Tatapan itu justru membuat Rhea menghangat, tenang, sekaligus merasa bersalah.

"Jangan kelamaan ya kak. Ayah udah bawa martabaknya, atau mau Ardan bawain ke sini?" Tanya Ardan.

"Ga perlu, pisahin aja ke piring. Kakak  masih kenyang," ujar Rhea mendapatkan anggukan sebagai balasan. Ardan membalikkan tubuh, kakinya berjalan keluar dari kamar.

ARhea!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang