54: Kita, mereka, dan masa lalu

3.7K 526 116
                                    

"mereka bilang, masa lalu tertinggal di belakang.

Tapi bagaimana jika masa lalu ternyata selalu mengekang hingga sekarang?"

-ARHEA-

—0—

Rhea sudah sadar tiga menit yang lalu. Pikirannya kini tengah berkelahi meributkan perkara haruskah
Ia bangun atau lanjut tidur kembali, seorang dokter menghampirinya dan menginterupsi pertengkaran dalam pikiran Rhea.

"Halo," sapa dokter itu, Rhea melirik ke arah dokter muda yang terlihat cukup lelah karena menjaga UGD semalaman.

"Oh, halo dok."

"Kepalanya gimana, ada sakit atau pusing?" tanya dokter itu.

"Pusing sedikit sih dok, tapi ga ada sakit kecuali di jidat sama pipi."

Dokter itu mengangguk, ia tersenyum pada Rhea.

"Itu karena kening sama pipi kamu menggores aspal jalan. Tapi untuk kepala kamu tidak ada cedera serius. Tadinya saya khawatir karena kamu pingsan dan sedikit mimisan," jelas dokter itu, Rhea menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Dokter khawatir sama saya?" Tanya Rhea dengan satu telapak tangan yang menutupi mulutnya, ia terharu. Dokter dengan nama Rangga itu hanya bisa tertawa kecil. Sembari berpikir mungkin otak pasiennya sedikit miring karena benturan.

"Saya khawatir sama pasien saya, bukan kamu doang. Lagi pula, dua laki-laki yang bawa kamu ke sini tentu lebih khawatir," ucap dokter itu. Rhea memiringkan kepalanya, berpikir.

"Yang bawa saya ke sini dua laki-laki dok?" Tanya Rhea, dokter Rangga mengangguk.

"Iya, salah satunya adik kamu, dia yang ngisi administrasi. Tapi seingat saya, adik kamu ga terlalu bisa mengurus hal-hal semacam itu, jadi dia menelpon orang tua kalian."

Rhea mengangguk paham, adiknya itu  tidak mungkin bisa mengisi administrasi semacam ini.

"Kalau begitu saya lanjut memeriksa pasien yang lain. Kalau ada keluhan apa-apa, kamu boleh langsung beri tau pada perawat yang ada di sini," ujar Dokter Rangga. Ia tersenyum lantas berbalik dengan tangan kiri yang tengah memegang sebuah catatan.

Rhea langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Mengabaikan rasa pusing yang menghantamnya secara tiba-tiba.

"Dokter Rangga!" Pemuda itu berbalik, menatapnya dengan tatapan bingung. Ia memperhatikan Rhea yang turun dari kasur dan menghampirinya.

Di hadapan Rangga, Rhea mencari sesuatu di saku rok nya. Satu tangan di pakai untuk mencari, dan satu lagi membimbing dokter itu untuk menunjukkan telapak tangannya.

Rhea berhasil menemukan apa yang ia cari. Tangannya menggenggam dua buah permen yang kini ia letakkan di telapak tangan dokter itu.

Rangga mengerjapkan matanya, menatap dua permen berbeda rasa yang ada di telapak tangannya. Ia mengalihkan pandangan pada Rhea.

"Ini buat saya?" tanya Rangga. Rhea mengangguk semangat, seperti anak kecil yang dengan antusias mengakui hasil kerja kerasnya.

Rangga tersenyum kecil, ia mengantongi satu permen dengan rasa manis ke dalam saku snelinya, sedangkan permen asam ia biarkan di tangannya.

"Saya makan permen yang asam dulu," ujarnya. Rhea sedikit memiringkan kepala.

"Karena wajah dokter udah terlalu manis?" tanya Rhea dengan wajah polosnya. Rangga tidak lagi tersenyum, tawa kecil kini keluar dari bibirnya.

ARhea!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang