"tak, tak, tak. Pion telah di pergunakan sebagai penanda di mulainya permainan."
-ARhea-
-0-
"Revano?" Panggil Rhea, pemuda itu mengadah menatapnya. Pupil matanya mengecil saat melihat Rhea di hadapannya.
"Untuk apa Lo kesini?" Tanya Revano, nafasnya menderu, keringat bercucuran membasahi wajahnya, baik Rhea meupun Adnan sama-sama tau, bahwa ia sedang menghadapi tekanan.
"Aku-
"Pergi!" Serunya, ia berdiri, membuat luka itu semakin jelas terlihat. Sebuah luka sayatan tipis yang hampir mengering.
Rhea maju selangkah.
"Kenapa?"
"Lo harus pergi!" Serunya menatap tajam, bukan tatapan mengancam, tapi ada sebuah tatapan yang menyiratkan sebuah kepanikan.
"Gue mau nanya sesuatu." Adnan angkat bicara.
"Apapun yang mau Lo omongin, itu bisa nanti, gue mohon Lo harus pergi!" Serunya panik, Rhea mengerutkan keningnya. Pemuda berkaos lengan panjang dengan warna abu-abu itu terus menerus menyuruh mereka pergi. Ia tau, pasti ada suatu hal yang tidak beres di sini.
"Kenapa Lo sepanik ini?"
"Lo ga perlu tau yang penting Lo harus pergi nan!"
"Gue gamau pergi, Rhea Mau ngomong sama Lo!"
"Pergi please."
Rhea terus memperhatikan interaksi mereka berdua. Khususnya mimik pada wajah Revano, pemuda itu panik dan takut secara bersamaan, tapi, apa alasannya? Rhea terus menerka-nerka.
"GUE BILANG PERGI!"
'maaf gue pergi duluan Rev.'
Satu suara yang ia kenal secara tiba-tiba masuk dalam indra pendengarannya. Matanya menyusuri rumah itu, mengabaikan objek tidak menyenangkan dari sebuah parabotan berdebu dan pecahan kaca yang tercecer.
Gadis itu menatap satu titik, sosok yang ia kenali tengah berdiri menatap sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding, Devan. Hantu yang tadinya mengikuti mereka kini berada di tempat yang cukup berbeda, berbicara sendiri sembari menatap dinding.
Rhea melirik ke arah Adnan dan Revano yang saling berseteru. Batinnya menyerukan perintah untuk menghampiri foto itu, begitupun pikirannya yang menyetujui kata hati. Tanpa basa-basi, kakinya melangkah mendekati Devan dan foto yang tengah ia tatapi.
"Dev liat ap-
Matanya melotot, bisikan itu terputus begitu menyadari sebuah foto di depannya. Nafasnya memburu, jantungnya berdetak sangat cepat, kakinya seakan lemas melihat foto di depannya. Foto tiga orang laki-laki berseragam putih biru yang saling merangkul.
Revano.
Keyno.
Dan Devan.
Devan turut melotot melihat Rhea di sampingnya, karena begitu Rhea melihat tulisan di bawah figura, maka semua rahasia mereka akan berakhir saat itu juga.
"Ke-keyno? Devano?" Gumamnya terdengar oleh mereka berdua, Adnan sontak berlari menghampiri Rhea, sedangkan Revano menghela nafasnya lelah.
"Apa maksudnya ini?" Gumamnya, tubuh Adnan sedikit mundur saat melihat foto itu. Revano mendatangi mereka dengan wajah pasrah.
"Gue minta kalian pergi dari sini," pintanya dengan suara lembut, bukannya pergi, mereka berdua semakin kukuh untuk diam di sana.
"Jelasin, apa-apaan ini?" Tanya Adnan dengan suara yang agak meninggi. Revano maju beberapa langkah. Tangannya menggapai bingkai foto yang sama sekali tidak terganggu akan ulah pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARhea!
Teen FictionSiapa bilang geng motor itu hanya mampu menyebabkan kerusuhan, dan anggotanya hanya sekumpulan anak-anak yang berkelahi untuk bersenang-senang. Pernah mendengar nama Bradipta? Geng motor yang sudah lama berdiri di Bandung itu memiliki visi misi yan...