PROLOG

29K 1.7K 107
                                    

"aku bertemu kamu dengan keadaan terluka, dan kamu bertemu denganku hanya untuk mengobati luka, terimakasih, semoga tentang kita bisa menjadi sebuah cerita."

-Adnan Faiz A-

***

Sore itu hujan terus turun, membuat para burung tak bisa terbang sesuai jadwal, dan semut turut berdoa agar hujan tak sampai masuk ke dalam sarang mereka..

Beda lagi dengan para tukang cuanki, bakso, seblak dan martabak yang kini sedang senang karna melayani pelanggan yang sedang meneduh di warung mereka, sembari memesan makanan hangat untuk tubuh yang kedinginan.

"Hujannya belum berhenti kak?" Tanya seorang pemuda berbaju biru dengan rambut khas bangun tidur. Dirinya menghampiri gadis yang sedang duduk di sofa, sembari membaca novel dengan tenang di ruang tengah.

"Baru bangun dek? belum nih, hujannya masih awet," balas sang gadis dengan jari yang membuka halaman selanjutnya, tanpa mengalihkan pandangan hanya untuk memperhatikan sang adik yang kini telah duduk di sampingnya.

"Mirip tugas sekolah ya, awet," cibirnya dengan wajah miris. Gadis itu terkekeh kecil, membiarkan sang adik yang baru bangun tidur itu menyandarkan kepalanya di bahu. Memberikan kesempatan untuk mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.

"Ayah, ibu ke mana?" gumam pemuda itu, lantas menguap.

"Katanya ke rumah Tante Wati, mau nganterin dodol titipan Tante."

Gadis itu bisa merasakan pergerakan di bahunya, ia tau sang adik baru saja menanggapi ucapannya dengan sebuah anggukan. Baik sang kakak ataupun sang adik, tidak ada yang berniat bersuara kembali untuk memecah keheningan yang membuat mereka nyaman. Gadis itu tetap fokus membaca buku novelnya, dan pemuda itu, berusaha mengingat isi mimpinya tadi.

"Assalamualaikum." Salam terdengar, di iringi pintu yang terbuka memperlihatkan seorang wanita berusia hampir empat puluh tahun yang sedang berurusan dengan payung kuningnya.

"Waalaikumsalam." Mereka berdua bangkit, hal yang pertama mereka lihat adalah sang ibu yang sedang kerepotan dengan payungnya. kakak adik itu menyalami ayah dan ibunya dahulu, barulah sang adik membantu perkara payung yang di pegang oleh sang ibu.

"Ibu mau di bantu?" Tanya pemuda itu.

"Engga, ibu mau mukul kamu, boleh?"

"Tentu tidak boleh dong Bu, jangan mukul tanpa alesan, nanti di tuntut loh!" Sang ibu berdecak.

"Yaudah, bantuinlah Ardan! Kalau nanti ada yang mau jatoh dari tebing masa kamu tanyain dulu?" Seru sang ibu sambil berkacak pinggang, laki-laki itu hanya cengengesan dan membantu merapikan payung kuning milik ibunya.

"Di mana-mana kalau ada yang mau jatoh dari tebing itu ya ditanya dulu, masih kuat ga? Kalau ga kuat ya dibantu, kalau kuat ya hebat, lanjutkan," timpal Ardan membuat sang ibu melotot. Ardan nyengir kuda,  tidak menyangka gumamannya yang sangat lembut selembut pantat bayi akan terdengar.

"Tuh liat adik kamu Rhea, makin hari makin ngawur aja dia!" Adu ibu kepada Rhea. Ia menghela nafas melihat Ardan yang mulai bertingkah.

Sementara Sarah mengawasi Ardan yang sedang mengurusi payung kesayangannya, Farhan sudah duduk tenang di sofa ruang tengah. Tak lama setelah mereka duduk, Ardan dan Sarah ikut bergabung.

"Untung hujannya sudah agak reda ya," ujar Farhan memulai obrolan sembari menyesap secangkir kopi yang langsung di buat oleh Rhea begitu dirinya pulang.

"Iya, Alhamdulillah," timpal Sarah.

Rhea menanyakan kabar sang bibi yang sudah lama tidak ia jumpai, hingga akhirnya bersambung membicarakan hal lain. Ardan tidak ikut mengobrol, hanya termenung menatap jendela hingga beberapa kata keluar dari bibirnya.

ARhea!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang