Seperti

354 51 34
                                    

Retta

Gue ingat, malam itu didalam kamar yang sengaja lampunya gue padamkan, gue terdiam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue ingat, malam itu didalam kamar yang sengaja lampunya gue padamkan, gue terdiam. Saat itu gue mengenggam handphone dengan kuat.

Ketukan pintu berkali-kali terdengar, suara seseorang memanggil nama gue pun terdengar setelahnya. Namun hal itu tetap membuat gue bergeming.

Sudah berkali-kali suara itu berganti, ketukan pintu pun tak kunjung berhenti, namun ketika suara seseorang yang amat gue kenal terdengar, tangis gue pecah hingga harus membuat gue mengigit bibir keras.

Dengan cepat gue menekan panggilan cepat pada handphone gue. Tidak diangkat. Gue mencoba menghubungi orang itu melalu aplikasi chat, namun yang terlihat hanya tulisan 'memanggil'.

1 menit... Gue mencoba menghubunginya, tidak ada balasan.

5 menit... Tetap tidak diangkat.

Hingga 15 menit setelahnya, gue tetap tidak bisa menghubunginya.

Mata gue panas. Dada gue semakin sesak. Sampai akhirnya gue kehilangan akal. Gue ingat betul, suara teriakan yang gue timbulkan membuat pintu kamar harus di dobrak paksa.

Saat itu gue kehilangan pikiran. Semua terasa samar. Berisik suara orang-orang yang memanggil nama gue pun seperti angin lalu yang terdengar.

Ketika itu gue hancur. Walau bukan kehilangan yang pertama, namun sakitnya sama parah dengan sebelumnya.

Gue masih ingat, sampai akhirnya gue hilang kesadaran, kontak itu adalah hal yang terakhir gue lihat. Sebuah nama yang gue simpan dengan nama lengkap. Satu-satunya kontak yang gue simpan di panggilan cepat. Sebuah kontak yang gue simpan dengan nama Alentera Zioniktha.

* *

"Ta...".

Pelan suara Meda yang terdengar saat ini terasa mengoyak hati gue. Suaranya begitu gue rindukan namun suara itu pun begitu menyakitkan.

Meda menatap gue dalam. Dia khawatir. Dia menyesal. Gue bisa melihat semua itu dari raut mukanya saat ini.

Harusnya keputusan yang gue ambil ini tidak berat. Karena gue terlalu sering merasakan kehilangan.

"Jangan melarikan diri ke Jakarta, Ta".

Meda ketakutan. Gue bisa melihat manik matanya yang begitu kelam. Gue ingin berasumsi, hanya saja gue sudah lelah untuk itu.

"Gue gak akan lari, Med. Gue memilih dan pilihan gue itu adalah Jakarta".

"Gu-".

"Jangan menjelaskan apapun, Med. Walau mungkin terlihat mampu, gue gak yakin bisa mendengarnya".

Sebelum Meda membuka suara, gue memotongnya cepat. Gue ingin lepas. Gue ingin meninggalkan semua. Gue ingin lapang. Tanpa harus merasakan kecewa kembali. Tanpa harus berkenalan dengan sebuah kebencian.

Penuntun Kata | ExovelvetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang