Kenno
'Selain fotografi dan Talla, apa sih yang nguras emosi lo?'.
Tanya Gavin waktu itu tiba-tiba teringat oleh gue. Saat itu dengan mata beler dan mulut yang gak berhenti ngoceh, Gavin duduk disebelah gue sambil menyesap rokok ditangan.
Punclut waktu itu dingin banget. Gue maklum sih, gue sama Gavin kesana menjelang subuh dan banyak embun yang terlihat. Jadi walau telinga gue agak sedikit pengang karena omelan Gavin, setidaknya keberadaan gue ditemani seseorang.
Gak habis pikir sih gue, subuh-subuh sendiran, kalo ada yang tiba-tiba dateng terus kakinya gak napak, bisa mati kutu.
Kalo ditanya ngapain gue subuh-subuh ke Punclut waktu itu, jawabannya karena Talla.
Talla bilang sebelum jadi anak kuliahan di Jakarta, ada satu penyesalannya, yaitu gak pernah ngeliat matahari terbit bareng gue.
Gue tau Talla suka banget sama pagi. Talla selalu menikmati datangnya pagi. Talla selalu bersyukur pagi selalu menyambutnya dikemudian hari. Jadi tanpa banyak bicara, setelah malam hari Talla berkata seperti itu di telepon, gue segera membawa Gavin untuk menemani gue.
Selain Gavin waktu itu gue gak punya pilihan lain. Gak mungkin gue ngajak Meda karena rasanya ada enggan disana. Apalagi Siwi, dia pasti langsung murka karena dibangunkan tengah malam begini. Mau gak mau dengan sogokan bakal bikin foto mozaik wajah Purin, Gavin mengiyakan walau dengan umpatan di sepanjang jalan.
Seinget gue jawaban yang gue kasih buat Gavin waktu itu adalah 'gak ada'. Namun sekarang, gue harus meralatnya karena setelah mengantar Retta merayakan tahun baru di rumah Lea dan sudah tiga hari cewek itu gak menampakan dirinya di kampus, lagi dan lagi emosi gue terkuras.
Ada rasa kesal disana karena itu cewek bisa mengabaikan telepon juga pesan yang gue kirim namun rasa khawatir juga gak luput membayangi.
Gue mungkin bisa nanya sama Lea, Gasa atau pun Meda tentang keberadaan cewek itu. Namun gue mengingat tentang kisah rumit yang dialami mereka dan itu membuat gue memilih pergi ke rumah Retta untuk mengetahui kabar cewek itu.
Selalu sama.
Rumah Retta selalu sama seperti yang terakhir gue liat. Walau belum bisa dikatakan malam namun pukul setengah enam sore begini langit sudah berubah warna dan seharusnya rumah didepan gue ini sudah menyalakan lampunya. Tapi rumah Retta tetap gelap, bahkan pagarnya tidak dikunci dengan benar.
Gue perlahan mendekati pintu rumahnya, mengetuknya beberapa kali namun tetap saja tidak terbuka.
Tidak sengaja gue mendorong pintu rumah Retta dan dengan cepat pintu itu langsung terbuka. Tanpa sadar tangan gue mengepal dan dengan cepat masuk kedalam, rasa khawatir gue semakin memuncak karenanya.
Gue pernah masuk kerumah ini waktu itu saat Retta sakit dan gue gak menyangka akan mendapati kondisi Retta seperti itu lagi ketika gue membuka pintu kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penuntun Kata | Exovelvet
FanfictionMereka bertanya pada ketidakpastian mengenai asa, imipian juga cinta. Bila benar, apakah akhir bahagia akan tertulis untuk mereka?