.

130 16 5
                                    

SEBUAH AKHIR

- Penuntun Kata -

---

Kata orang pada dunia, semesta akan memberikan sebuah pelajaran. Mulai dari hal baik hingga hal buruk. Mulai dari rasa suka juga duka. Kata orang dunia akan memberikan sebuah warna kemudian melahirkan makna yang nantinya akan menjadi kebahagiaan. Walaupun pada jalannya tangis tidak luput untuk sekedar menyapa lalu pergi setelahnya.

Menjadi dewasa adalah hal yang gak mudah. Menjadi dewasa adalah hal yang gue harapkan bisa dihindari selamanya namun pada kenyataan waktu terus melangkah maju dan membawa gue untuk tetap berjalan diantaranya.

Pada dunia, gue memaafkan. Pada pemilik semesta, gue meminta maaf untuk semua prasangka yang gue punya. Kehilangan seseorang yang kita sayang membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi kembali waras. Dan butuh waktu lima tahun akhirnya akal sehat gue kembali berjalan dengan semestinya.

Gue terlalu lama untuk berlari, gue terlalu lama untuk menghindari. Tahunan panjang di Jakarta membuat gue sadar seberapa besar jarak yang gue ambil, pada akhirnya Bandung memang tempat gue untuk berakhir.

"Retta, mau pergi sekarang?".

Suara seseorang terdengar, tak lama sosoknya masuk kedalam kamar gue. Seperti sebelumnya satu senyum tidak pernah lepas dari bibirnya. Orang itu berjalan kearah gue, ketika dia benar-benar sudah berada di hadapan, satu pelukannya menghangatkan tubuh gue. Iya, saat ini Lea sedang memeluk gue dengan erat.

"Lo beneran harus pergi, Ta? Lo baru sampe Bandung 3 hari yang lalu".

Lea semakin mengeratkan pelukannya ketika selesai berbicara. Gue bisa mendengar ada desahan nafas panjang yang ia keluarkan.

"Gue cuma cuti 4 hari, Le. Buat dateng ke acara lamaran lo sama Siwi juga Gasa sama Illa".

Lagi dan lagi desahan nafas terdengar jelas dari mulut Lea. Walau hanya tersirat gue mengerti bahwa Lea gak pengen gue buat pergi lagi.

"Ta, lo bisa buat tetap tinggal disini?".

Lea melepaskan pelukannya kemudian matanya menatap gue lekat. Seperti yang gue duga, rasa bersalah itu masih ada disana.

"Gue udah terikat kerja di Jakarta, Le. Gak mungkin gue tiba-tiba tinggal disini". Satu senyum gue berikan pada Lea. "Disini juga sepi".

Setelah gue berbicara gue dapat melihat Lea yang mengepalkan tangannya.

"Ta, maafin gue ninggalin lo sendiri".

Ini yang gue gak suka. Ini yang gue gak mau untuk kembali hadir diantara lingkaran yang pernah ada. Gue gak mau hubungan yang ada diliputi rasa bersalah. Diliputi kekecewaan. Karena sepinya rumah gue, bukan salah orang lain. Sunyinya rumah gue bukan karena orang lain. Dan gue berusaha untuk berdamai untuk itu.

"Le, sepi gue bukan karena lo. Sunyi gue bukan karena kita. Dengan lo bertemu dengan Siwi, Gasa bertemu dengan Illa, itu udah cukup buat gue ngerasain bahagia. Sebab di dunia ini cuma kalian sumber bahagia yang gue miliki".


Harusnya gak ada lagi air mata. Harusnya gak ada lagi isak tangis yang terdengar. Tapi nyatanya masih saja, walau tahunan telah berlalu kata maaf itu kembali lagi Lea ucapkan. Kata maaf itu kembali lagi Lea minta untuk hal yang gak pernah gue pikir adalah sesuatu yang salah. Sebab kasih dan sayang tidak pernah berbohong pada siapa mereka mengemban rasa.

---

Harusnya dengan melihat cincin yang ada di tangan Retta membuat gue tersadar. Harusnya saat pertama kali setelah lima tahun Retta kembali menampakan dirinya di depan gue menjadi sebuah sinyal bahwa sampai kapan pun cewek itu gak akan pernah menetap.

Selalu di Stasiun Bandung. Selalu di tempat ini gue menemukan Retta yang sebenarnya. Retta yang jujur bahwa walau tahunan telah berlalu luka itu tidak luput dari hatinya.

Gue, Lea dan Gasa mengantarkan Retta pergi. Gue mengantarkan cewek itu kembali ke tempat ternyamannya untuk bersembunyi.

Retta pergi tanpa menjelaskan, beberapa hari cewek itu kembali menginjakkan kaki di Bandung tak pernah ada kata yang ia jelaskan. Retta hanya datang untuk mengantar kedua sahabatnya menuju kebahagiaan. Hanya itu saja.

Tapi seperti biasanya, harusnya ketika Lea dan Gasa pamit, gue mengikuti mereka sehingga gue tidak menemukan Retta yang berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menutup mulutnya agar isak tangisnya tidak terdengar.

"Retta lo gak apa-apa?".

Gue langsung menarik tangan Retta pelan agar cewek itu tidak menjadi pusat perhatian. Untung saja Retta memilih keberangkatan kereta di pukul 05.25 sehingga tidak banyak orang yang berlalu lalang.

"Namanya Tera. Anak kecil di depan gue tadi namanya Lentera, No".

Retta tidak pernah berubah. Ia masih kesakitan karena lukannya. Jadi gue harusnya mengerti alasan Retta hanya memilih untuk singgah sampai saat ini. Harusnya gue mengerti, tapi rasanya selama ini gue sudah cukup untuk mengerti.

"No, jangan tunggu gue. Jangan lagi tunggu gue. Lo pantes dapet bahagia yang lo mau. Dan itu bukan gue".

Gue sudah siap untuk mendengar kalimat ini. Bertahun-tahun gue menyiapkan diri untuk bisa lapang saat Retta berbicara seperti ini. Namun pada nyatanya gue gak bisa, hati gue kesakitan.

"Namanya Dere kan, No? Siwi bilang cuma sama Dere lo bisa menjadi lo yang sesungguhnya setelah sekian lama".

Gue mengepalkan tangan saat Retta berhenti bicara. Gue marah mendengarkan apa yang Retta katakana barusan.

"Gue masih berusaha pulih, No. Sedangkan lo udah sembuh. Jadi jangan sakit lagi sama gue ketika lo bisa pulang ke rumah ternyaman".

"Lo gak tau apa-apa, Ta!".

Gue marah. Rasanya gue ingin meledak mendengar semua bicaranya. Gue udah nunggu lama. Gue sudah menunggu Retta dalam waktu yang lama. Bukan seperti ini akhir yang ingin gue terima.

"Gue emang gak tau apa-apa, No. Gue gak tau sesakit apa lo nunggu gue. Secapek apa lo cari gue. Maka dari itu, No, berhenti. Jangan lagi menjadikan gue akhir. Gue gak akan kembali".

Kalimat panjang dari Retta membuat dada gue semakin terasa sakit apalagi saat sebuah cincin ditangannya yang dengan sengaja ia perlihatkan pada gue. Gue merasa kalah. Gue merasa jauh.

"Gue pamit ya, No. Sepuluh menit lagi kereta gue berangkat. Gue berharap lo akan bahagia selalu".

Gue pikir setelah selesai berbicara Retta akan langsung pergi meninggalkan gue. Gue pikir ketika pamit sudah ia bicarakan, Retta akan benar-benar meninggalkan gue. Namun nyata satu pelukan hangat Retta berikan pada gue serta permintaan maaf berkali-kali terdengar di telinga gue.

"Retta".

Saat Retta sudah berjalan pergi meninggalkan gue, gue memanggilnya pelan. Retta berhenti kemudian menatap gue lekat.

"Gue juga pamit ya, Ta. Semoga lo juga bahagia selalu".

---


Waktu itu ketika acara lamaran Gasa dan Illa, bunda pernah bertanya mengenai cincin yang ada di jari manis kiri gue yang terlihat sedikit kebesaran. Bunda bilang ia turut bahagia bila gue juga sama seperti Gasa.


Tapi saat itu dengan cepat gue menyanggah, gue jelaskan bahwa cincin gue ini berasal dari Arsen. Arsen bilang cincin itu dari Tera. Cincin yang gue pake ini adalah cincin kawin orang tua gue yang selama ini Tera simpan sebelum semesta merengut hidupnya.

---


A/N : Mungkin ini bisa menjadi akhir dari cerita ini atau mungkin tidak hehehe

Maafkan banget karena update untuk cerita ini lama ya. aku mungkin bakal nulis tipis-tipis penuntun kata dan lainnya di X (mungkin kalo ada ide dan waktu).

Terima kasih banyak bagi kalian yang sudah berkenan baca dan menunggu cerita ini.

wooopyuu pokoknya!!!!

- PS

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Penuntun Kata | ExovelvetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang