Lea
Ada hari yang berlalu,Menit terlewati,
Detik terbaikan.
Hah.
Untuk waktu yang hampir berganti, gue semakin menyadari bahwa hidup bukan hanya sekedar mengemban sebuah nilai.
Tentang apresiasi atau pun toleransi.
Namun, untuk saat ini gue merasa bahwa manusia hidup bukan sepenuhnya untuk menjadi manusia.
Karena tidak ada belas kasih saat seharusnya uluran tangan diberikan pada mereka yang tertatih maupun terjatuh.
Ataupun setidaknya mencoba mengalihkan pandangan bukannya malah menyungingkan senyuman saat ada air mata yang tidak pernah ingin dilihat.
Hah.
Entah sudah berapa kali gue mendesahkan nafas sambil membiarkan pikiran gue mengudara. Tapi saat sosok seseorang terlintas dibenak gue, satu senyum terlukis begitu saja pada bibir gue.
Retta.
Pada tahunan yang lama,
Untuk umpatan yang sama,
Retta sama sekali tidak menggubris apapun omongan yang masuk kedalam telinganya. Cewek itu tetap acuh padahal gue dan Gasa berkali-kali merasa terganggu.
'Gak usah didenger, Tuhan nyiptain dua tangan buat nutup telinga dari bacotan gak bermutu kaya gitu'.
Hah,
Andai gue bisa seacuh Retta, tapi pada kenyataannya ngeliat gerak-gerik anak kelas yang ngomongin gue, rasanya itu ngebuat mood gue ancur seketika. Dan oleh sebab itu, setelah ngedenger Pak Towi gak masuk kelas, gue langsung balik rumah menghindari bisik-bisik juga tatap mata orang-orang yang seakan mau makan gue.
"Lea, kamu udah pulang?".
"Mama".
Gue yang sedari tadi duduk di ruang tengah langsung berdiri dan berlari mendekati mama yang baru masuk kedalam rumah.
"Mama tumben udah pulang".
Mama tersenyum kepada gue sambil membuka sepatu kerjanya.
Untuk senyuman yang mama berikan pada gue, rasanya dengan ngeliat itu aja beban pikiran gue langsung hilang. Kehadiran mama sekarang langsung membuat gue bersemangat.
"Mama pulang cepet karena harus siap-siap, nanti malem mama pergi ke Palembang buat ngurus kantor disana. Papa juga hari ini gak pulang, ada acara sama klien katanya".
Oh atau Oke.
Harusnya gue bisa membalas ucapan mama seperti itu. Seharusnya gue bisa mengutarakan rasa tidak suka gue, harusnya gue bisa marah, kesal bahkan ngambek seperti yang biasa gue lakukin ke Gasa maupun Retta. Namun kenyataannya gue hanya tersenyum lebar sambil mengangguk, saat menanggapi ucapan mama setelah itu gue hanya bisa menatap kepergian mama kedalam kamar tanpa mengeluarkan suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penuntun Kata | Exovelvet
FanfictionMereka bertanya pada ketidakpastian mengenai asa, imipian juga cinta. Bila benar, apakah akhir bahagia akan tertulis untuk mereka?