Gasa
Hidup merupakan perjalan panjang. Dalam perjalan kita mencari alasan untuk bertahan, tujuan untuk berdiri tegak. Pada perjalanan kita menemukan hal baik dan buruk, lalu hal itu mengajarkan kita untuk bersikap dan mengambil keputusan. Tapi lucunya kadang hidup mengkhianati arti baik yang dipelajari dan membiarkan hal buruk menang pada sebuah kesempatan.
Ini puntung rokok gue yang ketiga. Selama setengah jam gue hanya termenung dan menatap beberapa orang yang berlalu lalang di lapangan Saparua. Gue tersenyum kecil, kemudian meringis mengingat semua kenangan yang terekam di pikiran. Itu begitu lucu tapi entah mengapa malah terasa mengoyak. Gue berkali-kali harus mengepalkan tangan kuat agar tidak membabi buta atas kemarahan yang gue rasakan. Kecewa yang gue alami, terlebih karena diri gue sendiri.
"Apa yang mau lo omongin sama gue".
Tepat setelah gue mamatikan puntung rokok gue yang ketiga, Meda sudah duduk di samping gue dengan memberikan raut wajah yang dingin. Untuk beberapa saat gue membiarkan pikuk orang-orang disekitar menjadi suara diantara gue dan Meda. Membiarkan gue terdiam pada lamunan gue dan membiarkan Meda termenung pada pikirannya sendiri.
"Diantara Retta dan Lea, siapa orang yang paling lo sayangi?".
Dari sudut mata, gue bisa melihat Meda yang memalingkan wajahnya kepada gue dan menatap gue lekat.
"Gue sayang sama mereka berdua".
Gue menghembuskan nafas keras, amarah gue semakin terasa menekan dada gue sampai rasanya gue kesulitan untuk bernafas.
"Diantara Retta dan Lea, siapa yang paling lo kasiani?".
Meda terdiam, dia tidak menjawab. Saat gue memalingkan wajah dan melihatnya, gue bisa melihat tangan Meda yang terkepal keras.
"Gue kasian sama mereka berdua".
Untuk pertama kalinya kalimat itu keluar. Untuk pertama kalinya gue mengakuinya. Lagi dan lagi, gue meringis, rasanya gue tertampar dengan kenyataan yang gue bawa sekian lama.
Semuanya bermula dari rasa kasian. Semua berawal dari kasa iba. Persahabatan yang gue bangun dengan Retta dan Lea bermula karena perasaan simpati itu. Perasaan simpati yang paling di benci oleh Retta dan Lea, karena bagi meraka ketika ada orang yang merasakan simpati untuk mereka, untuk hidup meraka, hidup yang meraka punya benar-benari tidak berguna.
"Gue kenal mereka saat mereka hancur. Gue kenal Retta dan Lea saat mereka tidak berharap untuk tetap ada di dunia".
Sepanjang kalimat gue, Meda hanya terdiam dan menatap lurus lapangan Saparua. Walau tidak terucap gue mengerti, Meda membiarkan gue untuk membicarakan semua yang ingin gue katakan.
"Delapan tahun lalu bokap Retta meninggal, kecelakaan tunggal di tol Cipularang".
Gue bisa melihat raut muka Meda yang berubah kaget. Seperti yang gue duga sebelumnya, Meda gak pernah tau kesedihan yang dimiliki oleh Retta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penuntun Kata | Exovelvet
FanfictionMereka bertanya pada ketidakpastian mengenai asa, imipian juga cinta. Bila benar, apakah akhir bahagia akan tertulis untuk mereka?