Petjah

291 46 14
                                    

Retta

Merelakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Merelakan.

Satu kata itu menjadi kalimat pertama yang gue denger saat seorang guru piket memanggil gue untuk keluar kelas dan mengikutinya.

Tanpa banyak kata, dengan satu gesture tangan, gue bisa melihat wali kelas gue yang sedang mengajar di kelas langsung mengambil tas punggung dan memakaikannya pada gue.

Gue terlalu kecil saat itu, jadi gue gak mengerti semua makna dibalik tatapan para guru yang melihat gue dengan pandangan iba.

Namanya ibu Diah, guru piket gue itu terus mengelus kepala gue pelan saat berjalan mendekati gerbang sekolah.

Ibu Diah tidak berkata, guru itu hanya menatap gue dalam saat eyang sudah berada di depan gerbang dan memeluk gue dengan erat.

Erat sekali sampai gue hampir kehabisan nafas.

Erat sekali sampai air mata yang keluar dari mata beliau membasahi baju seragam gue.

Bahkan sampai gue masuk kedalam mobil, ibu Diah tetap diam dan hanya menatap gue dalam.

Gue sudah bertanya, bahkan sampai ke eyang namun tidak ada jawaban yang gue temukan.

Tapi saat mobil eyang masuk ke rumah sakit Hasan Sadikin dan membawa gue pada ruang ICU, gue tau ada hal yang tidak menyenangkan.

Bahkan di ruang itu gue melihat Tara yang digendong oleh tante Monika, adik perempuan papa, gue merasa ada yang tidak benar.

Tapi setelah menunggu beberapa jam dengan keheningan dan pertanyaan gue yang masih belum menemukan jawaban, seorang dokter keluar dari ruang ICU dan berkata bahwa gue dan keluarga harus merelakan.

Saat itu gue inget, gimana tangisan tante Monika pecah. Gimana isakkan eyang bergema diseluruh sudut ruangan. Dan disitu untuk pertama kalinya gue tau bahwa merelakan tidak semudah perkataan.

* *

"Are you ok?".

Gue terkesikap saat satu suara terdengar di telinga. Gue mengadah mendapati Gasa yang sudah berdiri di depan gue.

"Papa udah pergi ya, Sa".

Setelah mendengar gue yang berbicara, Gasa berjalan ke samping gue dan ikut jongkok untuk menyamai tubuh gue.

"Papa lo udah bahagia, Ta".

Gue bisa merasakan tangan Gasa mengelus kepala gue pelan dan cowok itu menatap gue dalam.

"Udah delapan tahun ternyata, Sa. Papa udah pergi dari gue selama itu".

" Ta..."

"Dan selama itu gue gak pernah nemuin beliau kaya gini, Sa".

Air itu lolos dari mata gue. Lagi dan lagi gue akan menjadi serapuh ini bila bertemu papa seperti ini.

"Gue kangen papa, Sa. Tapi kalo gue kesini perasaan gue selalu sakit".

Penuntun Kata | ExovelvetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang