Seharusnya

531 68 0
                                    

Saat adanya sorak-sorai.


Saat terdengar hiruk-pikuk.


Saat seharusnya hanya ada bahagia.


Pada kenyataannya hidup tidak semenyenangkan itu. Hidup tidak hanya memperkenalkan rasa suka cita, hidup memberikan pelajaran lain mengenai duka, mengenai luka, mengenai  kecewa, mengenai harapan dan juga mengenai impian.

Dahulu, seorang Gasano Karma selalu merasa bahwa hidupnya menyebalkan. Kehidupannya sangat memekakkan saat mendengar teriakkan sang bunda setiap paginya ketika lelaki itu tetap saja terlelap padahal sudah lebih dari setengah jam bunda membangunkannya untuk sekolah.

Atau bagaimana sang ayah berbicara panjang lebar kepadanya saat nilai rapot milik Gasa turun atau karena Gasa ketahuan sok-ngebut-ngebutan dengan motor sang ayah padahal saat itu ia baru mengganti seragamnya dengan putih biru.

Dulu, Gasa benar-benar merasa bahwa hidup tidak berpihak padanya sebab semua kesenangan yang dirasakan selalu bertentangan dengan kedua orang tuannya.

Tapi siang itu, saat Gasa sengaja pulang terlambat dari sekolahnya dan berdiam diri dijembatan penyerbangan Metro, ia melihat seorang gadis melamun sambil terisak kecil. Gadis itu memakai seragam putih biru dengan badge asal sekolah yang sama dengan dirinya.

'Kamu gak apa-apa?'.

Gasa bisa melihat bagaimana ekspresi terkejut yang diberikan gadis itu tapi tak lama air matanya malah jatuh dengan deras.

'Kenapa papa jahat? Kenapa? Kenapa mama jahat? Kenapa? Kenapa?'

Itulah awal mula bagaimana seorang Gasa merubah pemikiran mengenai hidup yang dijalaninya. Dan itupun menjadi awal perkenalannya dengan seorang Retta.

Bukan hanya itu, saat Gasa merasa bahwa perhatian yang diberikan kedua orang tuannya terlalu berlebihan untuk dirinya yang beranjak remaja. Lelaki itu bertemu dengan seseorang, seorang gadis yang setiap harinya menunggu berjam-jam untuk dijemput pulang. Seorang gadis yang selalu merubah raut wajahnya dengan gembira saat salah satu dari  orang tuanya menjemput untuk pulang. Gadis yang selalu berbicara dengan ceria disepanjang jalan walau orang yang diajak bicara sibuk dengan dokumen juga ponsel yang dipegangnya. Seseorang yang ternyata satu tempat bimbel dengannya, seseorang bernama Lea yang juga merubah sudut pandangnya.

Dari kedua sahabatnya itu seorang Gasa belajar menjadi dewasa, belajar bersyukur dengan hidupnya juga ikhlas. Apalagi ketika mengingat bagaimana kedua sahabatnya itu merayakan pergantian umurnya kemarin sangat berbeda dengan dirinya. Karena kala ulang tahunnya Januari lalu, walau tidak pada jam duabelas malam, suara bunda sudah bergema saat adzan subuh terdengar. Bunda membangunkan Gasa untuk shalat dan juga memberikan lelaki itu doa dan pelukan karena pergantian usianya.

Bukan hanya bunda, setelah selesai shalat berjamaah dan pulang dari masjid, ayah membuatkan kopi kesukaan Gasa juga mengucapkan selamat dan menyertai doa pengharapan agar Gasa menjadi lebih baik. Ketika jam makan siang pun Arsen meneleponnya untuk sekedar mengucapkan selamat.

Setiap tahunnya akan seperti itu. Bukan hanya karena Gasa, tapi saat ayah, bunda juga Arsen, rutinitas itu akan berjalan. Dan saat mengingat bahwa kedua sahabatnya hanya mengalami kekosongan dipergantian umurnya, selalu ada sesak dihati Gasa. Selalu ada tanya yang ingin Gasa jawab ketika keduanya bertanya, tapi tetap saja, jawaban Gasa hanya sebuah kata tanpa makna.

"Lo ngapain ngelamun?".

Gasa menjatuhkan bantal yang dipegangnya saat suara seseorang terdengar.

"Njir, ngangetin lo, Sen. Eh, lo balik? Tumbenan, biasanya kalo weekend, lo betah ngurusin si Sarka manggung".

"Bawel lo ah. Gak kenal Sarka aja belaga tau jadwalnya".

Penuntun Kata | ExovelvetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang