Nadine pulang setelah seminggu dirawat dirumah sakit. Mengingat statusnya yang sudah menjadi istri Abizar, akhirnya Nadine pulang kerumah keluarga lelaki itu.
Sudah seminggu belakangan ini Nadine menutup mulutnya dan berhenti berbicara. Bahkan saat Abizar mengumpatinya pun gadis itu hanya diam dengan menatap Abizar datar.
Abizar menaruh koper Nadine dikamarnya, atas suruhan sang papa, siapa lagi memangnya.
"Mulai malam ini lo tidur dikamar gue dan gue disofa. Jangan bantah, karena itu bakal buat gue ngerasa lo nolak gue." Ultimatum Abizar "Karena gak ad a yang bisa gue lakuin, gue keluar. Dan, jangan bersikap seolah lo istri gue. Gue bisa lakuin semuanya sendiri. Lo, cukup hidup dengan nyaman tanpa perlu layanin gue." Tahu Nadine tak akan menjawab Abizar berbalik hendak keluar
"Abizar"
Lelaki itu menoleh "Seminggu nutup mulut akhirnya lo nyerah juga?"
"Kamu gapapa?"
"Gue?" Heran Abizar "Lo yang sakit."
"Kehilangan anak kamu. Kamu gak sakit?"
"Udah kejadian juga. Menyesali semuanya pun gak guna"
"Kamu lho yang bunuh dia. Selama aku hamil kamu gak pernah perlakuin dia dengan baik, padahal kamu selalu semangat setiap kali jenguk dia." Cerca Nadine.
"Ka—"
"Kamu yang bunuh dia" Nadine menyela "Kamu gapapa sama fakta itu? Kamu ayahnya, kamu yang buat dia hadir, tapi kamu juga yang nolak kehadiran dia dan kamu juga yang ngilangin dia. Kamu lupa sama fakta itu?"
"Kenapa tiba-tiba kayak gini sih lo?"
"Aku diem karena aku fikir kamu sedih kehilangan dia. Tapi aku keliru. Gak ada gurat sedih dimuka kamu atau sedikitpun rasa nyesel karena gak sempet perlakuin dia dengan baik." Nadine kalap. Sebenarnya Abizar sedikit terkejut karena Nadine yang biasanya penurut kini meledak seperti itu "Kamu gak nyesel karena udah rebut kesempatan dia liat dunia? Sekalipun hidup itu keras, dia juga penyen coba hadir dan jalanin kehidupan yang keras itu. Tapi kamu? Kamu renggut semuanya. Kenapa? Aku bahkan gatau dia cantik atau ganteng, dia udah gak ada sebelum aku tau jenis kelaminnya. Kamu gapapa?"
Napas Abizar tercekat. Otak lelaki itu blank tentu saja. Nadine salah tentang Abizar yang tidak menyesal dan tidak merasa bersalah. Nyatanya lelaki itu juga terpukul dengan fakta, pembunuh anaknyaa adalah dirinya sendiri. Abizar menyesali tindakan tidak sengajanya dan Abizar sempat membenci dirinya sendiri.
Namun lelaki itu tidak mengatakan apapun dan pada siapapun. Lelaki itu menyimpannya sendiri. Bagaimanapun juga bayi yang belum mereka ketahui jenis kelaminnya itu adalah anaknya, darah dagingnya. Nadine betul tentang dirinya yang menciptakan bayi itu, namun merenggut semuanya? Demi tuhan Abizar tidak sengaja.
"Selama ini aku bertahan karena dia." Nadine kembali berucap "Aku fikir dengan hadirnya dia kamu bakal baik-baikin mamanya, dan kamu sadar kalo cuma aku yang perlakuin kamu dengan baik sekalipun perlakuan kamu ke aku gak sebaik itu. Aku fikir kita bakal baik-baik aja seiring berjalannya waktu. Tapi akhirnya aku sadar kalo semua itu cuma fikiran aku. Aku salah karena berfikir kamu punya pemikiran yang sama. Aku salah karena berharap kamu berubah, dan aku juga salah karena udah segitu percaya sama fikiran bodoh aku." Nadine tersenyum "Kamu baik sama aku cuma diatas ranjang aja, setelah itu? Kamu kek setan."
"Sopan begitu ngomongnya sama suami?"
Nadine berdecih. Abizar terkejut Nadine bisa melakukan itu padanya
"Suami?" Ledek Nadine "Lupa siapa yang nyuruh aku buat gak bertingkah seolah istri kamu? Dan sekarang kamu juga yang nuntut diperlakuin sebagai suami? Lo bener-bener gak punya pendirian Abizar"
KAMU SEDANG MEMBACA
[BUKAN] Couple Goals 2
Teen FictionSequel [Bukan] Couple Goals "Lo kenapa sih marah-marah mulu?" "Hormon" "Hello, lo tiap hari marah-marah, itu haid apa pendarahan?" Seru Geri pelan Gea nyengir "Lo kan tau, gue sambil berak aja bisa kerja" "Bukan berak, tapi pup" koreksi Geri "Apa be...