49. NIKAH?

20.8K 3K 261
                                    

Tanpa berpamitan, tanpa sempat mengucapkan kata-kata perpisahan, maut begitu kejam menghadang. Kabar duka yang tersampaikan, sukses membuat luka dan menyisakan kanopi di setiap mata keluarga yang ditinggalkan. Aldira, jadi pemeran utama yang terpukul atas kematian orang tercintanya.

Apa yang Aldira genggam selama ini, satu-satunya alasan Aldira untuk tetap hidup, telah pergi. Raib, semua harapan dan asa yang sempat terbangun. Hancur dalam sekejap mata, menyisakan kepulan luka, dan tubuh yang tenggelam di dalam kubangan derita.

Sekuat tenaga Aldira membantah, kenyataan lebih maju paling awal untuk menyandarkan. Para pelayat yang datang, sambil menyalami tangannya itu nyata. Mayat terbujur kaku di hadapannya juga nyata. Sejak semalam, Aldira sudah berhenti menangis.

Ia hanya termenung, menatap kosong jenazah Mira---ibunya, yang kini telah tutup usia. Aldira merasa, ia tengah diasingkan ke dunia entah berantah. Aldira sendiri di tengah keramaian. Suara lantunan ayat suci tak sama sekali, membuatnya mau berkedip. Aldira harap, ini hanya mimpi.

"Dir, ibu akan segera dimakamkan," bisik Dafi serak.

Aldira terdiam seribu bahasa. Dalam hati ia menjerit, enggan berpisah dengan ibu tercintanya ini.

"Kamu yang kuat, ya?" Dafi mengusap-usap punggung Aldira, sukses membuat Aldira menoleh.

"Bang, ibu udah meninggal, ya?" tanya Aldira seperti orang linglung.

Dafi tak kuasa menahan air matanya lagi. "Iya, Dir. Ibu udah sama ayah sekarang. Ibu udah tenang disana," ujar Dafi lembut disusul dengan isakan dari Aldira.

"Kenapa harus ibu, Bang? Kenapa enggak Aldira aja yang mati?" Mata Aldira memanas. Ia menatap Dafi, lalu ibunya secara bergantian. "Katanya, ibu bakal terus ada sama Aldira, tapi ... kenapa ibu pergi? Kenapa ibu pergi, pas Aldira enggak ada di samping dia, Bang?"

"Dir...."

"Tuhan jahat! Tuhan ambil ayah, terus sekarang ambil ibu, terus Aldira nanti sama siapa? Hiks!" Tangisan Aldira pecah, tangisan yang lemah, dan begitu tergugu. 

"Dir, ada abang disini." Dafi menarik Aldira untuk masuk kedalam dekapannya.

"Aldira mau ibu, Bang!! Aldira mau ibu kembali, hiks..." isakannya yang kian menggila, sukses membuat Aldira kini jadi pusat perhatian para pelayat. "Aldira gagal hadi anak Bang, Aldira enggak ada di saat-saat terakhir ibu, Aldira gagal!!" makinya kemudian. Meluapkan amarah pada dirinya sendiri.

Andai waktu bisa diputar ulang, Aldira akan pulang malam itu. Aldira tidak akan menunggu Altair yang jelas-jelas tidak memberikan kabar padanya. Aldira menyesal. Aldira membenci Altair saat ini juga.

"Ini semua gara-gara akang!!!" jerit Aldira, memukul-mukul dada Dafi kalap.

Di hadapan para pelayat dan beberapa  anggota inti PANTER, Aldira menangis histeris. Memeluk tubuh kaku sang ibu, sambil terus meneteskan air mata. Sesekali Aldira mengguncang, namun nihil jawaban ataupun respon yang di dapatnya.

Ibunya telah meninggal, itulah kenyataan pahitnya. Kenyataan pahit yang harus Aldira telan bulat-bulat.

"IBU!!!! JANGAN TINGGALIN ALDIRA!! HIKS, ALDIRA BUTUH IBU!!!"

***

"Pasien sudah sadarkan diri," ucap sang dokter yang baru saja keluar dari ruangan rawat inap Altair.

Abim dan Reza kontan berdiri kompak, setelah mengucapkan kata terima kasih, keduanya langsung masuk. Hal pertama yang mereka lihat adalah, sosok Altair keadaan begitu memilukan. Salah satu kaki serta tangannya dibebat perban putih. Wajahnya penuh memar dan goresan luka karena pecahan kaca.

ALTAIR [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang