1 Minggu penuh, Gionya pergi, Airis seperti mati ditelan Bumi. Tak ada satu hari pun, tak ada satu menit bahkan detiknya Airis lewatkan dengan merindu. Sakit rasanya, saat kenyataan menamparnya terus.
Gionya telah pergi.
Sekarang yang bisa ia lihat, hanyalah gundukan tanah merah dengan bunga yang sudah layu. Airis lantas menggantinya dengan bunga baru. Jemari pucatnya, mengelus lembut batu nisan dari marmer dengan nama Gio Manendra yang terpajang disana.
"Jagoannya Airis gak kangen Airis, ya? Tiap malem ditungguin di alam mimpi, gak dateng-dateng," monolog Airis. Ia tersenyum miris, "jagoannya Airis udah lupa, ya? Udah lupa ya sama Airis?"
"Airis kangen kak Gio tau, kangen dibonceng sama kak Gio ... apa kak Gio kangen juga sama Airis?"
"Gue juga kangen lo, Ris."
Deg! Suara berat yang menyahut itu, membuat sekujur tubuh Airis membeku. Ia kenal, ia hatam suara itu. Airis mendongakkan kepalanya, dan ...
"Kak Gio?"
Dengan segala ketidakberdayaan yang membumbung tinggi, Airis bergegas berdiri. Matanya tak berkedip, jantungnya bergemuruh hebat. Jemari-jemari pucat miliknya, meremas cardigan fuschia yang ia kenakan.
Matanya tak salah, sosok di depannya itu Gio.
"Ka-k G-i-o??" ucapan Airis terbata. Ia benar-benar tak menyangka. Terkejut bukan main, melihat sosok yang telah dinyatakan meninggal, malah ada di depannya.
"Ris, gue cinta lo. Cinta banget, Ris. Tapi Ris, lo gak bisa terus-terusan kayak gini, lo harus lanjutkan hidup lo lagi." Suara Gio melirih, cowok berpakaian serba putih itu tersenyum. "Gue udah tenang disana Ris," tambahnya.
Air mata Airis mengucur deras. "Tolong, bawa Airis ke tempat Kakak," pintanya pilu. Diiringi isakan hebat.
"Nggak Ris, biarkan gue disana sendiri aja. Lo disini aja, lanjutkan hidup lo. Walaupun gue gak ada, tapi gue akan lihat lo dari langit. Gue akan menemani lo, Ris. Kemanapun lo pergi, gue akan jadi bayangannya."
"Nggak, Airis mau ikut sama Kak Gio, Airis gak bisa hidup dengan tenang kalau gini, Kak ...."
"Ris, hidup lo masih panjang. Kepergian gue, adalah proses pendewasaan diri lo. Gue akan tetap cinta sama lo, walaupun kita beda alam sekarang. Gionya Aris, selamanya." Gio tersenyum lebar, namun bersamaan dengan itu setetes air mata jatuh, namun menghilang begitu saja.
Gio mengulurkan tangannya, Airis menyambutnya. Namun, hal janggal terjadi saat Airis tak bisa merasakan jemari Gio dengan nyata.
"Gionya Airis, izin pamit. Selamat tinggal cantiknya Gio," lirih Gio.
Airis tersentak, saat sosok di depannya bercahaya. Airis hendak memeluknya, berusaha menahan sosok itu pergi, namun sosok itu lenyap. Gio menghilang. Cahaya tadi kabur di tempat.
"KAK GIO!!!" jerit Airis dengan mata mengedar. Nihil, yang ia lihat hanya ratusan makam.
Keringat dingin mengucur deras, bulu kuduk Airis meremang.
"KAK GIO JANGAN TINGGALIN AIRIS!!!" Cewek itu menjambak rambutnya sendiri dengan geram, lalu ambruk di samping gundukan tanah merah dengan lunglai.
Airis memeluk makam Gio, sambil menangis histeris.
"Kak Gio jahat!!! Kak Gio ninggalin Airis lagi, kenapa? Kenapa? Hiks ...."
Saat tangisannya menggila, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Seolah, semesta juga ikut merasakan kesedihan. Semesta menangis, mengikuti jejak Airis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAIR [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝𝕭𝖊𝖗𝖙𝖎𝖓𝖌𝖐𝖆𝖍 𝖉𝖎 𝖒𝖆𝖗𝖐𝖆𝖘 𝖐𝖆𝖒𝖎, 𝖒𝖆𝖘𝖚𝖐 𝖘𝖊𝖍𝖆𝖙 𝖐𝖊𝖑𝖚𝖆𝖗 𝖈𝖆𝖈𝖆𝖙.❞ -PANTER Altair Prawira Atmaja. Punya julukan sebagai Singa jalanan. Sama seperti julukannya, ia liar dan begitu ber...