"Gue bantuin lo cuma karena kasihan, bukan karena perasaan."
Sedari tadi, Altair terus mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Seolah memang menegaskan, bahwa perasaannya telah hilang. Walaupun pada nyatanya, itu semua tidak benar. Sejauh apapun Altair berusaha menghilangkan perasaannya, wajah Aldira terus terbayang.
"Gue hapus make up lo," ujar Altair terdengar seperti permohonan izin. Dengan gerakan pelan dan hati-hati, Altair mulai mengambil tissue basah dan membersihkan wajah Aldira.
Lain dengan Aldira, yang hanya mampu membungkam mulutnya dalam diam. Sebari meremas jemarinya kuat-kuat cewek itu merundukkan kepalanya malu.
"Ini yang gue takutkan, Dir." Altair kembali bersuara, cowok itu masih membersihkan make up yang kini sudah bercampur dengan air di wajah Aldira. "Capella itu model, terkenal. Lo nggak akan bisa jadi saingan dia. Sekalipun nantinya Bumi bakal milih lo, Capella bakal rebut apa yang udah jadi milik dia sebelumnya."
Untuk perkataan yang satu ini, Aldira perlahan mengangkat wajahnya. Memberikan akses jalan mudah untuk Altair bisa membersihkan sisa make up cewek itu.
"Apa yang lo pikiran sekarang?" tanya Altair sembari membuang tissue basah di tangannya ke jalanan berbalut aspal.
Aldira menarik satu tarikan napas. "Aku mau putus dari kak Bumi," katanya.
Cowok itu terkekeh hambar. "Omong kosong," sebut Altair diiringi decihan samar.
"Aku serius...." Cewek itu melirih. Namun terdengar menegaskan.
"Ck, gue udah nggak percaya lagi sama kata-kata lo." Altair berdecak. Cowok itu melompat rendah, dan duduk di atas kap mobilnya. Sementara Aldira? Masih setia berdiri dengan badannya yang basah kuyup.
Bahkan, jas Altair yang kini membalut badannya yang basah pun ikut-ikutan basah karena menyerap. Perlu diketahui, keduanya sekarang sudah pergi dari tempat dari product launching, Altair membawa Aldira ke suatu tempat, dimana hanya ada keduanya disana.
Bukan mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi Altair merasa ini momentum tepat untuk meyakinkan Aldira. Bahwa, cinta Altair jelas lebih besar dari Bumi. Nyatanya, sekuat apapun Altair mengenyahkan perasaannya terhadap Aldira, semua hanya akan mendapatkan hasil serupa; nihil hasil. Aldira benar-benar berhasil menguasai benteng pertahanan Altair.
"Kalau lo emang mau putusin Bumi. Apa lo berani putusin cowok itu di depan gue?" Selepas melihat langit malam, Altair berucap lagi dan menolehkan kepalanya pada Aldira.
"Berani." Hanya itu jawaban yang terlontar dari mulut Aldira.
Altair menghendikan bahunya acuh. "Gue tunggu tanggal mainnya."
Aldira rasa, kini memang seharusnya ia membuktikan omongannya. Ia harus putus. Harus. Aldira tidak ingin hubungan terlarang dirinya dan Bumi menjadi kecaman untuk dirinya pribadi.
"Dir," Altair memanggil. Aldira menoleh lantas langsung menatapnya. "Setelah lo putus dari Bumi, mau, ya, jadi pacar gue?"
Aldira meneguk ludahnya samar. Cewek itu semakin meremas jemarinya sendiri kuat.
"Tapi kalau nggak mau juga, nggak apa-apa." Altair melanjutkan perkataannya lagi. "Nawarin doang, mau? Ya alhamdulilah. Nggak? Juga nggak masalah."
"Emangnya Kakak mau sama bekasan kayak aku?"
Kedua alis Altair menukik, tatapan matanya meredup mendengar pertanyaan yang terlontar dari Aldira. "Bekas? Emang lo udah di unboxing sama Bumi?"
"Ihhh bukan!" Aldira memukul lengan Altair.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAIR [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝𝕭𝖊𝖗𝖙𝖎𝖓𝖌𝖐𝖆𝖍 𝖉𝖎 𝖒𝖆𝖗𝖐𝖆𝖘 𝖐𝖆𝖒𝖎, 𝖒𝖆𝖘𝖚𝖐 𝖘𝖊𝖍𝖆𝖙 𝖐𝖊𝖑𝖚𝖆𝖗 𝖈𝖆𝖈𝖆𝖙.❞ -PANTER Altair Prawira Atmaja. Punya julukan sebagai Singa jalanan. Sama seperti julukannya, ia liar dan begitu ber...