Altair duduk lunglai di atas lantai dingin rumah sakit. Matanya basah, keringat serta darah di beberapa bagian tubuhnya mengucur terus. Kaos hitam yang digunakannya sekarang, sudah berbau anyir. Entah itu darahnya, maupun darah dari mulut dan dada Aldira berbaur jadi satu.
Sudah 1 jam penuh, pintu ruang operasi tertutup rapat. Sudah 1 jam penuh juga, Altair merasa nyawanya hilang. Pergi, meninggalkan, entah kemana. Menunduk, sambil memeluk lutut, kini hanya itu yang Altair bisa lakukan. Memejamkan mata, Altair merasa ada yang menghantam punggungnya.
Andai, Altair punya tenaga tadi. Mungkin, ia bisa melawan Bara dan mengubah keadaan.
Kini, Aldira jadi bayang-bayang dalam kepalanya. Opsi-opsi pilihan muncul berkelana, berterbangan mencari-cari kepastian. Selamat atau tidak. Itu yang kini jadi bahan pikiran Altair.
Jika saja boleh diminta, Altair ingin menggantikan posisi Aldira sekarang. Altair relakan, rasa sakit yang mendera Aldira ditumpahkan padanya. Altair mau terluka, demi Aldira. Semua, akan Altair lakukan untuk Aldira. Demi cintanya, dunianya, dan separuh hidupnya.
Lo harus selamat, Dir. Lo gak bisa tinggalin gue sekarang, lo harus selamat. Harus.
Altair memejamkan mata, terlelap dalam dimensi-dimensi alam bawah sadar.
CEKLEK!
Sebelum kenop terbuka, lampu yang tersimpan di atas pintu ruang operasi menutup. Pertanda, operasi telah selesai dilakukan. Altair bangkit, sesaat melihat dokter dan beberapa suster keluar.
Melangkah lebar, Altair berhasil mendaratkan kaki tepat di hadapan orang-orang yang baru saja keluar dari ruang operasi itu.
"Gimana keadaan istri saya, Dok? Apa operasinya berjalan lancar? Apa istri saya selamat?" Altair melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. Gerakan tubuhnya kelimpungan sendiri.
"Maaf, kami pihak medis sudah melakukan penanganan semaksimal mungkin, tapi nyawa—"
"APA?! NYAWA APA?!" potong Altair. Memekik marah, karena tak terima mendengar kalimat lain yang akan terlontar dari mulut sang dokter. "SELAMATKAN ISTRI SAYA DOKTER!!"
Altair mencengkram kerah seragam operasi sang dokter kuat-kuat. Matanya nyalang, menajam bagaikan elang.
"Maaf, tapi nyawa istri anda tidak bisa diselamatkan." Dengan berat hati, sang dokter memberanikan diri. Merampungkan kalimat menyayat hati, yang tadi sempat terhenti.
"Gak mungkin, hahaha!" Altair menggeleng, tertawa sumbang setelahnya. Melepaskan cengkeraman dari kerah jas operasi sang dokter, lalu kembali tertawa. "Jangan bercanda lah, Dok. Istri saya gak mungkin meninggal, dia kuat! Jangan prank, ini bukan konten YouTube!"
"Maaf Mas, istri anda benar sudah meninggal." Sang suster bersuara, berusaha menjelaskan.
"Diem lo! Aldira-nya gue, gak mungkin meninggal!" tentang Altair. Suaranya bergetar, ia jelas melihat raut wajah sang dokter dengan beberapa suster disampingnya tampak serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAIR [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝𝕭𝖊𝖗𝖙𝖎𝖓𝖌𝖐𝖆𝖍 𝖉𝖎 𝖒𝖆𝖗𝖐𝖆𝖘 𝖐𝖆𝖒𝖎, 𝖒𝖆𝖘𝖚𝖐 𝖘𝖊𝖍𝖆𝖙 𝖐𝖊𝖑𝖚𝖆𝖗 𝖈𝖆𝖈𝖆𝖙.❞ -PANTER Altair Prawira Atmaja. Punya julukan sebagai Singa jalanan. Sama seperti julukannya, ia liar dan begitu ber...