53. KEMATIAN BULAN

19.8K 2.9K 592
                                    

Katanya, dunia adalah tempat kebahagiaan sementara untuk manusia. Namun, sekarang Aldira ada diambang pertanyaan, sebenarnya dimana letak kebahagiaan itu?

Lagi dan lagi, ia harus dihadapkan oleh tragedi kehilangan. Seolah memang Tuhan kini tengah membuat tubuhnya mati. Tidak mengambil nyawa, namun Tuhan mengambil kepingan nyawa Aldira satu persatu. Baru saja kemarin ibunya meninggal. Kini? Aldira harus menelan pil pahit. Dafi meninggal, di hadapannya sendiri. Ditabrak 3 mobil secara beruntun, seolah pembunuhannya adalah pembunuhan terencana.

"Ayo kita pulang." Altair berbisik, merengkuh Aldira disamping makam Dafi.

Tidak ada sahutan, yang Altair dapat hanyalah isakan tangis yang tergugu. Altair tahu, ini berat untuk Aldira.

"Dir, sekarang Dafi sama nyokap lo udah tenang. Lo gak boleh nangisi mereka terus," kata Bumi yang juga ikut berjongkok di samping Aldira di sisi lain.

Lihat, betapa hebatnya Bumi. Pagi menjadi pembunuh, dan siang jadi pelayat. Setelah menabrak Dafi, Bumi seolah tak menunjukkan wajah merasa bersalah sedikit pun. Ia malah merasa senang, karena rahasianya tentang Aleta kini sudah terkubur dalam-dalam bersama dengan matinya Dafi.

"Gak usah dielus-elus. Aldira udah kenyang gue elus," Altair tiba-tiba bersuara. Saat sadar, Bumi berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan.

Bumi langsung menurunkan tangannya di pundak Aldira.

"Hei, ayo kita pulang. Ini cuaca udah mau terik. Nanti lo kepanasan," bisik Altair lagi.

Aldira menyudahi isakan tangisnya dan perlahan mengangguk. Masih dengan posisi direngkuh Altair, ia bangkit. Dengan langkah berat hati, Aldira meninggalkan 3 makam keluarganya sekaligus. Makam ayahnya, ibunya, dan Dafi yang terlihat berdampingan.

Ayah, ibu, abang, Aldira pamit ya.

Baru saja Altair dan Aldira  berhasil berbalik badan. Aldira langsung mendapatkan sebuah pelukan tiba-tiba dari para teman-temannya. Alhasil, rengkuhan Altair dilerai paksa.

Sitoy, Jubaedah, Dania, mereka memeluk Aldira sebari mengucapkan ucapan duka.

"Yang sabar ya, Dir," ucap Dania sendu.

Aldira dengan wajah yang memucat hanya bisa tersenyum tipis. Tidak lama berselang, pelukannya dilerai dirinya sendiri.

"Ak-u, mau pulang," kata Aldira serak dan terbata.

Teman-temannya hanya mengangguk. Mereka sepertinya terlambat. Buktinya, baru saja datang, Aldira sudah mau pulang.

"Ayo." Altair mengulurkan tangannya, Aldira menyambutnya dengan baik.

Saat akan memulai langkah, tiba-tiba saja ... Aldira rubuh.

"ALDIRA!" teriak Sitoy, Jubaedah, dan Dania serempak.

"Ya ampun, Dir!" Altair buru-buru menggendong cewek itu. Aldira jatuh pingsan. Dan Altair bisa merasakan bahwa cewek ini benar-benar di titik terlemahnya sekarang.

Disaksikan oleh beberapa pasang mata pelayat, Altair menggendong Aldira dan membawanya pergi dari area pemakaman.

***

"Kak Bumi!"

Bumi menghentikan langkahnya, padahal baru saja ia ingin naik ke atas mobil. Niatnya itu ia urungkan, sesaat melihat Bulan menghampirinya. Bumi baru sadar, bahwa Bulan juga melayat. Yang Bumi tahu, 'kan, Bulan dan Aldira tidak akur.

"Ada apa?" tanya Bumi dingin, sesaat Bulan berhasil mendaratkan kakinya di hadapan.

"Semalam, eh salah, pas dini hari. Aku liat Kak Bumi sama bang Dafi lagi ngobrol di proyek bangunan pinggir jalan."

ALTAIR [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang