63. ALHAMDULILLAH

16.3K 2.4K 695
                                    

Zevan, cowoknya Aldira?

Begitu banyak masalah yang seolah datang silih berganti mengekor Altair. Namun apalah daya, ini kodratnya hidup, 'kan? Manusia tidak akan bisa menjadi manusia kuat, jika belum merasakan bumbu masalah. Namun, menurut Altair ini sudah keterlaluan. Semesta banyak bercanda sekarang.

"Masalah gue banyaknya kebangetan. Mau nyerah? Malu sama tato. Sialan!" Sumpah serapah itu keluar, saat tapak sepatu air Jordannya menaiki gerbang usang belakang sekolah.

Bolos pelajaran terakhir, merupakan keputusan final Altair.

Iya bolos, kenapa? Simpel saja, Altair ingin menemui Pak Ardilova---papahnya Bumi. Jika ditanya untuk apa, maka jawabannya untuk pembongkaran makam. Jujur, Altair rasa percuma saja jika ia sekolah, namun pikirannya di luar bukan di sekolah.

Maka dari itu, dari pada menjadi pajangan di kelas lebih baik ia bolos.

BRAK!

Naik dengan matang, mendarat juga dengan matang. Untungnya, tidak ada penjaga sekolah yang melihat jadinya Altair bisa dikatakan dalam mode aman. Dengan langkah lebar, Altair mulai meninggalkan area sekolah. Berjalan kaki, tanpa motor ninjanya. Niatnya, Altair akan kembali ke sekolah, tentunya ia harus kembali karena ia tak mungkin meninggalkan sang istri.

Bisa-bisa nanti malam tidak dapat jatah.

***

"Pak Ardilova, ada yang mau bertemu." Salah satu resepsionis yang bertugas waktu itu, berusaha memberi tahu Ardilova dengan hati-hati dan sopan.

"Siapa?" Tanpa menoleh sedikitpun, Ardilova terus berkutat dengan laptop di hadapannya.

"Altair, katanya anaknya pak Prawira. Temannya almarhum Bumi."

Ardilova diam sebentar, lalu mengangguk mengiyakan agar Altair masuk.

Pintu ruangan bergeser, sang resepsionis keluar digantikan dengan sosok Altair yang masuk. Ardilova menutup laptopnya, mendelik bingung dengan kedatangan remaja itu.

Dengan sopan, Altair mengucapkan salam serta membungkuk. Sedetik setelahnya, Ardilova bergestur mempersilahkan Altair duduk.

"Ada apa Altair?" Tanpa mau berbasa-basi, pria setengah baya itu langsung ke inti.

"Saya mau ngomong serius sama Om, soal Bumi."

Mendengar nama mendiang anak disebut, Ardilova melepaskan kacamata yang sedari tadi bertengger di pangkal hidungnya. Matanya kini memanas. Sebagai seorang ayah, Ardilova merasa gagal karena tidak bisa menyelamatkan nyawa Bumi.

"Apa?"

Dengan satu tarikan napas panjang, dan penuh yakin. Altair memberanikan diri untuk berbicara. "Apa benar Bumi sudah meninggal?"

Deg! Awalnya, Ardilova tersentak. Bisa-bisanya, Altair menanyakan itu? Padahal sudah jelas-jelas di TKP saja Bumi sudah sekarat.

"Om, saya bahkan anak PANTER tidak tahu, kapan dan dimana Bumi dimakamkan. Jadi saya bertanya ini," sambung Altair.

"Bumi sudah meninggal Altair. Dia dimakamkan di makam keluarga Ardilova. Om sengaja, menutup akses untuk para pelayat dan pemakaman dilakukan secara tertutup. Om tidak sanggup, melihat banyak orang menumpahkan air mata di hadapan Om."

Altair membungkam sebentar. Ujung kukunya tidak mau diam, terus saja mengetuk paha. Disaat keheningan serta kebungkaman merajai ruangan, hanya ada embusan angin yang sebentar singgah. Menandakan, bahwa Altair dan Ardilova masih bernyawa dan masih ada ditempat yang sama.

Ardilova terisak. "Om gagal menyelamatkan Bumi."

Tidak bisa bohong, Altair akui semua yang dikatakan Ardilova mengandung 100% kebenaran. Namun tunggu, jika Bumi benar meninggal, lalu siapa cowok di Gramedia waktu itu?

ALTAIR [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang