La ilaaha illallah
La ilaaha illallah
La ilaaha illallah
Kalimat tahlil begitu merdu menyapa daun telinga. Lantunan indahnya, mengiringi jenazah Gio menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Suara isakan tangis yang tersedu, menjadi lantunan pengiring. Semuanya terpukul rata atas kematian Gio.
Baik anak PANTER, semua murid SMA JUPITER serta para kerabat, mereka dihujam duka yang menghadang dengan membabi buta.
Di atas tanah merah setapak, Altair, Reza, Abim, dan Gama mengangkat keranda Gio. Keempat cowok itu melantunkan kalimat tahlil untuk teman terkasih. Dengan air mata yang mengalir, mereka menatap kosong jalan di depannya.
Dulu, lo pengen banget main gendong-gendongan sama gue, 'kan, Gi? Cuma dulu, gue nolak dengan alasan lo berat. Tapi sekarang, gue gendong lo, Gi. Altair membatin di seiring langkahnya.
"Mamah ikhlas kamu pergi, Gi." Rindu tampak tegar, sambil dirangkul sang suami, ia memegangi keranda Gio. Dan berjalan seiringan dengan pasaran.
Kak Gio, liat deh, kita sekarang jalannya beriringan tau. Tapi sayang, kita gak bisa saling menggenggam. Kita dipisahkan alam, kak.
Airis membatin dengan air mata yang berderai. Cewek dengan mata sipit karena banyak menangis itu, sama seperti rindu. Memegangi keranda Gio. Samar-samar terlihat, Airis melihat tubuh Gio yang kini dibungkus kain kafan.
"Kak Gio ...," panggil Airis parau. Rasanya sangat sakit, melihat seorang Gio kini sudah terkujur tak bernyawa.
Kita dipertemukan oleh kehendak Tuhan, dan dipisahkan oleh takdir Tuhan. Kak Gio, Airis cinta Kakak ....
Pertemuan dan perpisahan, memang sudah jadi satu paket dalam hidup. Hal paling menyakitkan bagi Airis adalah, saat ia ditinggalkan oleh seseorang yang ia anggap akan selalu ada untuknya.
Dulu, karena dipatahkan Agra, Airis dipertemukan Gio. Seolah obat, Gio mengobati Airis. Setelah Airis sembuh, Gio pergi untuk selamanya. Menjelma menjadi angin yang menguap tak peduli.
Kabut duka masih menyelimuti. Di pemakaman Gio, semuanya masih setia menitihkan air mata. Puluhan anak PANTER turut hadir, memakai pakaian serba hitam. Menegaskan bahwa mereka tengah berduka.
"Selamat tinggal Gio Manendra," ucap Altair. Menyeka air matanya dengan kasar.
Sesampainya di depan tempat peristirahatan terakhirnya, jenazah Gio yang sudah dibungkus kain kafan, perlahan dimasukkan ke liang lahat. Di bawah, Gama, serta papah Gio sudah siap siaga menyimpan Gio ke tempat peristirahatan terakhirnya untuk tidur nyenyak tanpa merasakan sakit lagi. Tanpa merasakan dingin lagi.
Tangisan Airis pecah, saat azan dikumandangkan. Ia ambruk, saat tanah menutupi tubuh Gio secara perlahan. Raib semua harapan indah yang Airis pernah ukir di kepalanya. Raib saat tanah merah itu kini sudah menggunduk, membentuk sebuah makam.
"KAK GIO JANGAN TINGGALIN AIRIS!" jerit Airis yang berusaha meronta di dalam rengkuhan Aldira dan Dania.
"KAK GIO GAK BISA NINGGALIN AIRIS! KAK GIO!"
"Ris, tenangkan diri lo Ris," ucap Sitoy yang masih sesenggukan menangis.
Airis jatuh ke rengkuhan Dania, ia melemah bahkan hampir pingsan. Namun sebisa mungkin, ia tetap kuat di tempat. Tangisannya kian hebat, saat gundukan tanah merah tersaji di depannya. Batu nisan dipasang, menegaskan nama Gio Manendra disana.
Gionya Airis telah tiada.
Gionya Airis telah tidur nyenyak.
Gionya Airis sudah tidak merasakan sakit lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAIR [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝𝕭𝖊𝖗𝖙𝖎𝖓𝖌𝖐𝖆𝖍 𝖉𝖎 𝖒𝖆𝖗𝖐𝖆𝖘 𝖐𝖆𝖒𝖎, 𝖒𝖆𝖘𝖚𝖐 𝖘𝖊𝖍𝖆𝖙 𝖐𝖊𝖑𝖚𝖆𝖗 𝖈𝖆𝖈𝖆𝖙.❞ -PANTER Altair Prawira Atmaja. Punya julukan sebagai Singa jalanan. Sama seperti julukannya, ia liar dan begitu ber...