51. JANGAN PERGI!

18.3K 2.8K 174
                                    

"Gue akan pergi. Ke Semarang, tinggal di rumah eyang sama adik gue juga," ujar Dafi pada Bumi.

Bumi Ardilova. Cowok yang dini hari kini tengah menyesap rokoknya itu hanya bisa berdeham. Hingga tidak lama bibirnya mengukir senyum miring.

"Kenapa lo mau pergi?"

"Aldira, adik gue. Dia udah tergila-gila sama si Altair. Sampai-sampai mereka berdua mau nikah."

Bumi langsung melemparkan puntung rokoknya ke sembarang tempat. Ia menatap Dafi serius.

"Makanya Bum, gue mau ajak Aldira pergi. Jauh dari Altair. Karena gue takut, Altair cuma mau jadiin Aldira objek balas dendamnya. Kan lo tau sendiri, kalau si Altair udah curiga sama gue. Dia juga sempat ancam gue buat nyakitin Aldira. Dan gue enggak mau itu terjadi," imbuh Dafi panjang.

Bumi hanya bisa menjadi pendengar yang baik dini hari itu. Di sebuah gedung proyek setengah jadi, Bumi dan Dafi memutuskan untuk bertemu. Tidak peduli dengan waktu, yang sebenarnya sudah tidak pantas lagi untuk orang bertemu. Apalagi berkelayaban seperti ini.

Sial, si Altair mau main jauh juga ternyata. Bisa-bisanya, dia mau ngajakin Aldira nikah?

Tanpa Dafi sadari, Bumi kini sudah mengeraskan rahangnya. Entah kenapa, hati Bumi mendadak panas. Ia tidak menyangka bahwa Altair dan Aldira akan melangkah lebih jauh dari ekspetasinya.

"Bum!" Dafi menepuk pundak sang pemilik nama sekali.

Bumi terkesiap, menatap Dafi bingung.

"Lo kenapa?" tanya Dafi. Bumi menggeleng lemah, seolah mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.

Tapi air mukanya tidak bisa dibohongi, bahwa ia tengah menahan amarah. Dafi tahu itu.

"Uangnya." Bumi memberikan seamplop coklat besar di tangannya pada Dafi. "Itu cukup, buat biaya hidup lo selama beberapa bulan. Nanti gue transfer sisanya. Inget, kalau butuh uang bilang sama gue. Apalagi, kalau Aldira minta apa-apa, turutin. Nanti gue transfer uangnya khusus buat dia."

Kedua alis Dafi naik. "Kenapa seakan-akan lo kenal sama adik gue, Bum?"

Bumi mengusap wajah. "Gue kan satu sekolah. Udahlah Daf, mending besok pagi cepetan pergi. Tinggalin Jakarta. Oke?"

Dafi mengangguk patuh. Bak ucapan Bumi adalah perintah tuannya. "Gue akan awasi lo di stasiun besok pagi. Gue takut, lo pura-pura pergi demi dapetin uang!"

"Ck, gue asli mau pergi Bumi!" sanggah Dafi kesal.

"Iya maka dari itu. Besok gue dan anak buah gue akan awasi lo. Gue permisi, ya." Bumi pamit, memakai tudung jaketnya dan bergegas pergi.

Dafi kini seorang diri. Ditemani dengan dersik angin yang mencekam, ia menatap amplop coklat berisi uang itu.

"Lumayan juga, jadi kambing hitam tapi uang ngalir terus." Dafi tersenyum senang. Ada decihan licik menyusul kalimatnya.

"Bum, Bum, kenapa sih lo enggak ngaku ke Altair. Kalau misalkan lo, adalah pembunuh adiknya Altair? Dan kenapa, lo enggak bilang, kalau misalkan gue ini cuma kambing hitam lo?" gumam Dafi. Sayangnya, apa yang ia ucapkan hanya sebuah andai yang tak mungkin jadi kenyataan.

Ini maksudnya gimana sih? Kok gue enggak ngerti. Otak gue ngelag! batin seseorang di balik sebuah pilar bangunan.

Tanpa Bumi bahkan Dafi sadari, ada seorang cewek berjaket hitam tidak sengaja mengintai keduanya.

"Jadi, kak Altair punya adik. Dan adiknya itu, di perkosa dan dibunuh kak Bumi. Terus, kak Bumi nyuruh bang Dafi, buat jadi kambing hitam?" gumam cewek itu bingung sendiri.

ALTAIR [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang