27. PACAR??

24K 3.6K 486
                                    

Gelas demi gelas berisi vodka sudah berhasil membasahi tenggorokan seorang Bumi Ardilova. Sambil duduk di sebuah kursi depan bartender Bumi terus meneguk gelas demi gelas minuman keras itu tak bersisa. Kecewa, marah, itulah yang Bumi tengah rasakan sekarang. Melihat Aldira tengah tiduri Altair, adalah sebuah penghinaan untuknya.

Selama ini, memang benar adanya. Aldira tidak pernah mencintai Bumi, itu hanyalah sebuah obsesi belaka yang bisa hilang kapan saja seiring berjalannya waktu. Bumi yang salah. Salah karena tidak melepas Aldira dan terus kekeuh mempertahankan hubungan seumur jagung ini.

"Kalau dari awal lo cintanya sama Altair? Kenapa lo terima cinta gue, Dir." Suara Bumi terdengar serak, matanya mulai memerah. Wajahnya mulai merah padam.

Bisa dipastikan jika seseorang berbicara di depannya, pasti bau minuman keras menyengat menerpa indera penciuman. Pergi Bar, adalah pilihan yang tak bisa Bumi elakan. Apapun masalah yang menerpanya, Bar jadi tempat pelampiasan. Setidaknya, ini bisa memberikan efek tenang untuknya.

Sambil mencengkram gelas di tangannya kuat-kuat, Bumi menatap layar ponsel yang kini menunjukkan jelas fotonya bersama Aldira di perkemahan waktu itu.

"Kenapa lo permainkan hati gue, Dir?" Bumi tersenyum pedih. Matanya mulai memanas, apa yang ia lihat beberapa jam terakhir di rumah Altair kembali terpintas. "Kenapa lo mau ditiduri Altair?"

Tanpa dirasa, Bumi meneteskan air matanya dan itu jatuh tepat di layar ponselnya. Cowok itu merasakan rasa sesak menikam dadanya, walaupun sudah minum bergelas-gelas tetap saja perasaannya tak karuan. Pikiran Bumi semakin kacau balau.

"Tambah lagi," Bumi mengulurkan kembali gelasnya pada si Bartender. Kembali meneguk vodkanya hingga tandas dan mengulanginya terus tanpa jeda.

Entahlah, Bumi merasa hubungannya dengan Aldira selalu saja ditimpa masalah yang tak pernah ada ujung pangkalnya.

***

"Den Bumi belum pulang, Neng. Den Bumi lagi kemah dan bilang ke bibi pulangnya besok, Selasa."

Aldira, bergerak gusar di depan gerbang besi hitam yang menjulang tinggi di salah satu rumah mewah milik Bumi. Jangan kalian pikir Aldira sendiri. Ada Altair juga disampingnya, karena jika tidak bersama Altair, Aldira tidak akan tahu letak rumah Bumi.

"Seriusan Bi? Bi Imah nggak bohong, 'kan?" Altair buka suara, setelah lamanya terdiam. Ia menatap wanita paruh baya di depannya dengan tatapan menyelidik.

Bi Imah yang merupakan pembantu di rumah Bumi. Hanya mampu mengangguk atas pertanyaan pertama Altair, dan menggeleng atas pertanyaan kedua cowok itu.

"Bibi nggak bohong, Den Altair. Buat apa bibi bohong coba?"

"Yaudah Bi, makasih ya. Kita berdua pamit, maaf menganggu waktunya. Permisi." Aldira buru-buru kembali berjalan mendekati mobil hitam milik Altair.

"Kita pasti bisa nemuin Bumi." Suara Altair itu membuat Aldira terkesiap. Pasalnya, cewek itu tengah melamun di pinggir mobil.

Aldira menghembuskan napasnya kasar, sambil sesekali menghentakkan kakinya ke aspal. Wajahnya sangat muram, seolah memang beban tengah menimpanya sekarang.

"Kak Bumi salah paham, dia pasti marah besar sama aku, Kak." Aldira mengusap wajahnya, lantas menatap Altair yang ada di hadapannya dengan bingung. "Apa yang bakal kita jelasin? Kalau misalkan kak Bumi menyangka kita ngelakuin hal yang nggak-nggak?"

Altair benar-benar merutuki dirinya sendiri karena meminta Aldira untuk tidur menemaninya. Altair benar-benar tidak tahu, jika Bumi bakal datang. Semua terjadi diluar dugaannya.

"Kak, ini gimana??" Kedua sudut bibir Aldira berkedut, menahan tangisannya yang rupa-rupanya akan meledek.

"Lo tenang, kita lacak keberadaan Bumi." Altair merogoh saku celananya, dan mengambil ponselnya.

ALTAIR [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang