"Kalau lagi gelisah, pejamkan mata Kakak, hirup dalam-dalam udara segar di luaran sana. Dan ... sebut nama seseorang, yang bisa bikin Kakak tenang."
Perkataan Aldira terngiang di telinga Altair. Cowok yang kini tengah berdiri di tepi balkon itu kontan mengikuti perkataan Aldira. Perlahan, ia mulai memejamkan mata. Menghirup dalam-dalam udara malam hari ini. Mulutnya yang masih setia terkatup, perlahan terbuka ... menyebutkan nama seseorang.
"Aldira..." sebut Altair.
Angin berembus perlahan, menerpa wajah Altair membuat cowok itu merasakan tenang. Entah kenapa, Altair merasa tenang setelah menyebutkan nama cewek itu. Ia membuka mata, jakunnya naik turun. Refleks maniknya mendongak, menatap hamparan bintang di langit malam.
"Maaf ya Aleta, sampai sekarang kakak belum tahu siapa sebenarnya yang membunuh kamu." Altair bersuara sendu, hari ini benar-benar hari dimana ia terus digerayangi bayangan sang adik. "Tapi kakak janji, bakal usut kasus pembunuhan kamu. Kakak janji," epilognya.
***
"Lo butuh uang, hah?" Bumi menyirangi tajam cowok bertopi di hadapannya.
"Bukan Bum, gue cuma nggak mau jadi kambing hitam. Gue emang yang perkosa tuh cewek, tapi soal siapa yang ngebunuh tuh cewek—"
"STOP DAFI! STOP!" sergah Bumi pada cowok bernama Dafi itu. "Jangan buat gue dihantui rasa bersalah lagi, sekarang lo tinggal bilang berapa uang yang lo butuh?" Bumi berusaha menetralkan deru napasnya yang sempat memburu. "Biar lo tutup mulut lo itu!"
Dafi menghembuskan napasnya. "Lima juta, gue butuh uang segitu. Bisa lo transfer uangnya sekarang?"
"Ya," Bumi mengangguk, merogoh ponselnya dan langsung mentransfer uang tersebut ke rekening Dafi. "Awas ya Daf, jangan bongkar rahasia kita!" tunjuknya dengan sengit pada Dafi.
"Semua bisa diatur kalau ada uang, Bum." Dafi terkekeh sambil menonjok pelan dada Bumi. "Gue pamit, makasih!" pamit Dafi seraya melenggang pergi.
"Sialan Dafi, nggak mau jadi kambing hitam, tapi terus nguras duit gue!" umpat Bumi kesal.
Tring!
Altair:
Kerumah gue sekarang, ada yg perlu dibicarakan."ARGHHH!" Bumi menendang ban motornya marah. "Ngapain lagi si Altair, coba?" tanyanya sendiri dengan frustasi.
Bumi tidak ada pilihan lain selain pergi menemui Altair. Dalam hati ia terus bertanya, apa yang akan Altair bicarakan?
Hal aneh jika Altair menyuruh Bumi datang semalam ini. Bahkan waktu hampir larut.
***
"Lo pernah pacaran sama Aleta?"
Di meja persegi yang membentang, dua gelas berisikan minuman bersoda menjadi pembentang jarak antara Altair dan Bumi malam hari ini. Baru saja datang, bahkan baru saja duduk beberapa detik yang lalu. Rupanya, Bumi sudah disuguhi sebuah pertanyaan dari Altair.
Pertanyaan yang naasnya ia sendiri tidak bisa menjawabnya.
"Jawab, Bum!"
"Nggak Al, gue nggak pernah pacaran sama Aleta. Seperti yang lo tau, gue anggap Aleta kayak adik gue sendiri. Mana mungkin, sih, gue pacaran sama dia?" Bumi berucap santai, tidak ada beban ataupun gerak-gerik kebohongan yang tercipta dari mulut serta gestur tubuhnya.
Altair terdiam, mengambil segelas minuman bersoda di atas meja dan meneguknya.
"Mamah gue yang keliru kayaknya," ujar Altair pelan, namun masih bisa didengar Bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAIR [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ❝𝕭𝖊𝖗𝖙𝖎𝖓𝖌𝖐𝖆𝖍 𝖉𝖎 𝖒𝖆𝖗𝖐𝖆𝖘 𝖐𝖆𝖒𝖎, 𝖒𝖆𝖘𝖚𝖐 𝖘𝖊𝖍𝖆𝖙 𝖐𝖊𝖑𝖚𝖆𝖗 𝖈𝖆𝖈𝖆𝖙.❞ -PANTER Altair Prawira Atmaja. Punya julukan sebagai Singa jalanan. Sama seperti julukannya, ia liar dan begitu ber...