Malam Sebelum Lebaran

2.1K 427 140
                                    

"Sumpah gue suka banget suasana kaya giniiiiii ..." pekik Mao semangat. Perempuan itu dengan lahap memakan salad buahnya. "Sehat gue makan sama lo, Ra."

"Kamu mau junk food?" tanya Mara. "Pesen gih, biar nanti aku yang bayar."

Mao dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Gue kaya parasit anjir. Udah numpang tidur, numpang makan, lo beliin baju lebaran lagi."

"Parasit apaan? Aku justru seneng karena ada temennya. Apalagi bisa ngelepas Mbak-mbak yang udah lama gak pulang kampung karena nemenin aku."

Mao menganggukkan kepalanya, "Eh ngomong-ngomong, lo gak punya sodara di sini?" tanya Mao, mengalihkan pembicaraan.

"Sebenernya ada," jawab Mara. "Aku bahkan direkomendasiin buat berobat di sini sama sepupu aku."

"Siapa?"

"Sepupuku?" bukannya menjawab, Mara justru balik bertanya. Sedangkan Mao hanya menganggukkan kepalanya. "Namanya Bang Yuta. Dia anaknya Kakak Papahku."

"Dia gak ke sini?"

"Dia gak bisa sering-sering kesini, nanti yang ada malah jadi masalah."

"Kok jadi masalah? Emang sepupu gak boleh ketemu sama sepupunya?"

"Masalahnya, Papahku sama Papahnya Bang Yuta itu gak akur ..." jelas Mara. "Dibandingkan bersaudara, mereka lebih terlihat seperti musuh satu darah. Mereka jadi gak akur semenjak perusahaan Kakek jatuh sepenuhnya ke tangan Papah."

Mao menghela nafasnya, "Gue gak paham sama perselisihan orang kaya."

"Sama, aku juga gak paham. Bahkan gak mau paham."

Mao memang masih tinggal di rumah Mara. Bahkan berkat Mao, Mara bisa meyakinkan kepada asisten rumah tangga dan asisten kesehatannya untuk mengambil libur lebaran.

Dua perempuan yang baru kenal itu bisa akrab dengan sangat mudah.

"Si Uto nanyain nih. Dia nuduh gue ngajak lo makan makanan junk food mulu anjim ..." adu Mao melihatkan pesan masuk dari Haruto.

Mara hanya terkekeh saja. Ia sangat menyukai interaksi Mao dengan Haruto. Sering bertengkar, tetapi saling melindungi.

"Lo temenan sama Uto dari kecil ya?"

"Kalo dibilang temen, kayanya bukan sih ..." jawab Mara. "Lebih tepat ke ... aku yang selalu ngintilin Ruto karena gak punya temen."

"Itu artinya lo temenan."

Mara dengan yakin menggelengkan kepalanya, "Nggak. Ruru tuh dulu gak pernah liat aku. Mau sesering apapun aku jadi bayangan dia, dia tetep aja gak liat aku ada."

"Wah Si Tono, dari kecil udah belagu."

"Ruto kecil emang gitu. Angkuh, sombong, dan tidak bersahabat," cerita Mara. "Makanya aku kaget pas liat dia sekarang jadi kaya gitu."

"Masa sih?"

"Dulu dia bahkan gak ngehargai supir atau pekerja lainnya di rumah dia."

Mao cukup terkejut saat mendengar cerita Mara. Haruto yang ia kenal adalah manusia dengan jiwa menghormati orang tua paling tinggi. Uto bahkan akrab dan berbagi bakwan dengan beberapa petugas kebersihan di sekolah.

"Eh tapi, Ra. Gue rasa Si Uto suka sama lo."

"Dia kasian sama aku," balas Mara. "Atau juga ngerasa gak enak karena dulu jahat sama aku."

"Masa sih?" tanya Mao. "Uto jenis manusia yang gak peduli loh, tapi pas sama lo perhatiannya lebih, bahkan saat sama anak kelas."

"Ya karena aku salah satu orang yang ada di masa lalunya. Mungkin itu."

[3] KIMcheees 3x✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang