Suasana rumah di pagi hari memang tak lagi pernah seheboh dahulu. Walaupun masih ada empat salon hajatan di rumah, tetapi kadang aliran listrik keempatnya sering mati. Kecuali jika Si Bungsu tiba-tiba saja konslet.
"Udah ga ada barang yang ketinggalan?" tanya Ayah saat melihat Haruto sudah siap dengan koper dan ransel. "Nanti heboh sendiri lagi di sana."
"Aman, Yah..." Si Bungsu yang sudah siap berlibur itu dengan santai mengacungkan ibu jarinya.
"Yaudah ayok Ayah anter ke bandara."
"Haruuuu!"
Haruto dan Ayah yang baru saja akan beranjak langsung kembali terdiam ketika mendengar panggilan kencang dari Bunda.
"Ini Shinchan-nya bawa!" Boneka beralis tebal kesukaan Haruto yang awalnya tak akan dibawa itu kini sudah berada di pelukan Haruto.
"Gak mau Bun, malu ah!" tolak Haruto dengan sebal dan mengembalikan bonekanya kepada Sang Bunda. "Masa aku ke bandara gendong-gendong ini boneka."
"Daripada kamu gak bisa tidur!" Bunda dengan paksa memberikan boneka milik si bungsu itu kembali. "Bawa aja udah!"
Titah dari Sang Maha Kuasa di rumah memang tak bisa ditidakkan jika engkau tak ingin menerima tiket ke neraka jalur durhaka.
"Yaudah iya ..." memilih pasrah, akhirnya Haruto membawa boneka Shinchan yang selalu jadi partner tidurnya.
Gak usah mikir yang nggak-nggak!
Cuma jadi pengganti guling."Ayok berangkat, nanti pesawatnya keburu berubah jadi odong-odong!" ayah sudah membawa koper milik Haruto, sedangkan Si Bungsu menyusul setelah mencium tangan Sang Bunda dan menerima banyak wejangan yang sudah pasti tak akan Haruto dengar apalagi dilakukan.
"Hati-hati," kata Bunda saat suami dan putra bungsunya sudah masuk ke dalam mobil dan melaju begitu saja.
Akhir tahun ini Haruto memang meminta izin untuk berlibur sebentar di rumahnya dahulu. Atau lebih tepatnya adalah panti asuhan karena rumah itu sudah berubah menjadi panti, sesuai dengan permintaan Haruto. Dan beberapa hari kedepan sebelum ikut gabung berlibur dengan keluarga gilanya, Haruto ingin menjenguk anak-anak panti yang dulu menjadi temannya.
💃
"Kenapa rumah Papah ga jadi panti, Pak?"
Rumah besar di dalam perumahan elit, suasana rumahnya terkesan sangat dingin dengan beberapa lukisan di dinding. Haruto sendiri kini sudah duduk di meja makan dengan seorang pria yang berdiri di dekatnya dan beberapa makanan tersaji.
"Pak Jidi membiarkan rumah tuan menjadi rumah saja, sedangkan panti asuhan ia bangun sesuai permintaan tuan muda."
Haruto hanya mengangguk saja, maksud hati ingin merasakan rumah lamanya menjadi ramai, ternyata masih tetap sama dinginnya dan terasa semakin sepi.
"Tuan muda bagaimana kabarnya? Apa Nyonya juga baik-baik saja?"
"Baik kok, Pak. Bunda jadi lebih sering marah-marah, tapi itu lebih baik daripada diem kaya robot."
Pria yang sudah lama bekerja di rumah besar ini tentu saja mengangguk dan menyetujui perkataan Haruto. "Tuan muda sendiri? Apa di sana baik-baik saja."
Senyuman Haruto terbit dengan sendirinya, membuat pria dengan setelan rapi itu terkejut saat melihat anak dari bosnya tersenyum. "Sangat baik..." jawab Haruto, matanya menyiratkan arti binar kebahagiaan seakan ia sedang mengingat kegilaan ia dengan saudara, tetangga dan teman-temannya. "Di sana saya menjadi makhluk sosial."
Pelayan di rumah besar itu ikut bahagia saat melihat remaja laki-laki yang dahulu ia asuh kini sudah baik-baik saja.
Haruto memang terlahir dari keluarga kaya raya, almarhum Papahnya merupakan pengusaha di pertambangan dan kolektor lukisan. Hanya saja tambang batubara Sang Papah harus hancur dan gagal panen hingga mengakibatkan kebangkrutan, lalu mulai terjadi kekerasan rumah tangga terhadap bunda hingga wanita itu kabur. Sedangkan saat itu Haruto berlindung di sebuah panti asuhan dekat komplek perumahan yang dengan senang hati menampungnya.
"Saya mau keliling komplek, Pak." Makanan masih tersisa banyak di meja makan, tetapi Haruto tak ada napsu untuk memakannya. Ia lebih suka berebut sisa makanan di piring bunda dengan A Mbin.
Melangkah masuk ke kamar besarnya di lantai dua, Haruto menghela nafas, seakan mengeluarkan seluruh keluh kesahnya.
Kamar yang besarnya dua kali lipat dari kamar ia di Graha Permai ini sebenarnya sangat nyaman. Tetapi, tetap terasa dingin karena ia tak merasakan hangatnya keluarga kecil di rumah ini.
"Anjim gue mau ngapain sekarang?" omel Haruto kebosanan. "Ke panti jam segini anak-anak lagi pada tidur siang. Apa gue keliling komplek aja?"
Mungkin karena sudah terbiasa tinggal di kawasan yang selalu diisi oleh keributan, Haruto kini merasa mati kebosanan saat harus berada di tempat sepi. Mana disini dia ga bisa jadi orang gila. "Rumah Bang Keita masih ada disini ga, ya?"
Beranjak dari tempat tidurnya, Haruto mengambil hoverboard lama miliknya yang nganggur di dekat lemari. Keluar dari kamar dengan hanya membawa ponsel, Haruto bergegas menuju keluar rumah dan berkeliling di komplek perumahan elit yang bahkan ia tak kenal siapa tetangganya selain Bang Keita yang kebetulan orang tua mereka saling kenal.
"Tuan muda mau keluar?"
"Iya Pak, keliling bentar..." jawab Haruto dan setelah gerbang besar itu dibukakan ia langsung berjalan menuju jalanan sepi di komplek perumahannya menggunakan hoverboard.
"Dulu gue bangga banget sama suasana komplek sepi begini," gumam Haruto sembari menikmati udara di perumahan yang memang di dataran tinggi. "Tapi kok sekarang kuping gue gatel ya karena terlalu sepi."
Haruto terus menikmati suasana tenang itu, sesekali menghirup napasnya hingga paru-paru terasa penuh, lalu menghembuskan dengan pelan.
"Permisi, Pak..."
"Haru?!"
Wajah terkejut dari security keluarga Kakak kelasnya itu, "Sehat, Pak?" tanya Haruto dengan sopan mencium tangan security yang kini sudah terkejut.
Hei, Haruto bukanlah seorang anak yang sopan. Bahkan cenderung angkuh pada orang-orang yang kastanya dibawah ia.
"Bang Keita-nya ada, Pak?"
"Waduh, Tuan Muda lagi liburan Den Haru."
"Yaaah.... Yaudah saya mau keliling aja deh. Tadinya mau jumpa fans sama dia. Mari, Pak...."
Security terebut hanya mengangguk saja, ia masih heran karena melihat Haruto yang berbeda.
💃
"Den Keitanya gak ada ya Tuan?"
Haruto yang baru saja tiba hanya mengangguk saja, remaja itu bukannya langsung masuk ke dalam rumah justru asik duduk di pos security depan rumahnya. Tentu saja hal itu membuat security di rumahnya merasa heran.
"Om Jidi yang sekarang ngasih gaji Bapak?" tanya Haruto yang sudah asik nongkrong di depan pos. "Om Jidi sering ke sini gak, Pak?"
"Iya Tuan Muda, setelah Papah Tuan bangkrut kami kembali ke kampung masing-masing," cerita security tersebut. "Tetapi tak lama setelah itu Tuan Jidi memanggil kami lagi."
Haruto menganggukkan kepalanya saja, "Gaji Bapak sama yang lain aman, kan?"
Senyuman terbit begitu saja di bibir security yang sudah menginjak usia tua. "Tuan sendiri gimana? Maaf waktu itu bapak gak bisa bantu tuan."
"Semua udah lewat, Pak..." jawab Haruto tenang. "Saya juga udah baik-baik saja."
"Syukurlah," gumam Security tersebut. Dan keduanya sama-sama terdiam hingga seorang perempuan keluar dari pagar rumah di sebrang rumah Haruto. Mata gadis perempuan itu seketika membulat, begitupun dengan Haruto.
Tbc
Nih yang minta kisah cinta Haruto.
Mari kita mulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] KIMcheees 3x✓
Fanfic[KIMcheees Series] [3] Rumah tak lagi terasa ramai Justru kini teras sepi Tak ada Karaoke ala Hanbin, Bobby Tak ada pertengkaran antara Bobby, Dongii Haruto yang bisa menggila sendiri Hanbin lebih sering di rumah sakit Dahyun sibuk bekerja dan kulia...