"Maaah, buka pintunya dooong." Jinhwan terus mengetuk pintu kamar Sana. Ini sudah hari kesekian ia membujuk istrinya. "Sayaaang ...."
Semenjak kejadian salah paham di kafe, Sana memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ia membawa Jisung, walaupun beberapa hari lalu putranya dititipkan kepada Haruto.
"Maaah," panggil Jinhwan lembut. Ia masih tetap berdiri di depan pintu yang tertutup rapat itu. Tubuh mungil Mas Jinan semakin terlihat kecil. Ngambeknya sang istri berhasil membuat berat badannya turun beberapa kilo. Untung saja tinggi badannya tidak ikut berkurang.
"Jinan," panggil Mama yang datang menghampiri menantunya. "Masih belum mau keluar, ya?"
Jinhwan hanya mengangguk. Tanpa perlu memberitahu bahwa ia sedang pusing, mertuanya dapat melihat dari ekspresi wajahnya dengan jelas. "Belum keluar dari tadi, Mah?"
Mama menjawab dengan tawa kecilnya. "Nggak, baru tadi pas denger suara mobil kamu dia masuk ke kamar," jelas Mama. "Padahal sebelumnya masih asik makan mangga sambil nunggu ikatan cinta."
Senyum Jinhwan tentu saja langsung terbit. Tingkah istrinya memang selalu berhasil membuat sudut bibirnya tertarik ke atas. "Sana udah minum susu belum, Mah?"
"Belum. Makan malem juga belum," jelas Mama. "Tadi dia bilang pengen nasi goreng selimut dari kafe, tapi baru juga mau nelpon kafe depan, kamu udah keburu dateng. Ya, ngambeknya jadi dilanjut."
Jinhwan mengangguk paham. "Jinan boleh minta tolong nggak, Mah?" pinta Jinhwan. Pria itu sedikit berbisik karena takut istrinya sedang menguping dari balik pintu.
"Boleh," balas Mama. Beliau menyetujui permintaan menantunya. "Mamah bilang ke Papah dulu. Jisung ikut sama kita, ya."
💃
"Maaah, aku mau maka- ...." perkataan Sana langsung terhenti. Begitupun dengan langkahnya. Ibu hamil itu seketika diam terpaku.
"Mamah bilang kamu lagi pengen nasi goreng selimut." Jinhwan, tersangka utama dari diamnya Sana. Ia terlihat biasa saja. "Tadi aku pesen, ini baru dateng. Dimakan, gih. Mumpung masih anget."
Sana masih tetap diam. Kakinya sudah siap melangkah untuk kembali masuk ke kamar, tetapi aroma nasi goreng yang mengusik hidungnya membuat perut meminta untuk diisi.
"Ayo, nanti keburu dingin." Dengan lembut Jinhwan merangkul Sana. Menuntun istrinya untuk duduk di ruang makan. "Hari ini susunya mau rasa apa, Mah?" tanya Jinhwan. "Cokelat atau stroberi?"
Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Sana. Ia lebih memilih untuk menikmati nasi goreng yang sudah Jinhwan pindahkan ke piring.
"Pelan-pelan aja, Mah," kata Jinhwan. Ia datang dengan segelas air mineral untuk Sana. "Kalo kurang, nanti pesen lagi."
Masih tetap dengan aksi diamnya. Sana tak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia bahkan tak menganggap Jinhwan ada, membiarkan suaminya tetap berbicara sendiri.
"Minggu depan jadwal periksa kandungan, kan?" tanya Jinhwan yang tetap berusaha memulai obrolan. "Jadwal terakhir, ya? Keperluan buat lahiran udah disiapin belum? Ada yang perlu dibeli lagi?"
Jinhwan sudah duduk berhadapan dengan Sana. Senyuman tak pernah luntur dari wajahnya, ia sangat menikmati pemandangan indah di depan matanya.
Suasana ruang makan benar-benar hening, hanya ada denting piring dari sendok dan garpu yang tak sengaja Sana buat.
"Makasih, ya," ucap Jinhwan. Tangan kanannya mengambil kesempatan untuk menggenggam tangan kiri Sana yang tiba-tiba melepaskan garpu. "Terima kasih karena kamu nggak cerita apapun tentang yang kamu pikirkan ke Mamah. Terima kasih karena kamu jauh lebih milih menceritakan semuanya ke Bunda. Sekali lagi, terima kasih karena bahkan di saat kamu lagi marah sama aku, kamu masih tetap berusaha menjaga nama baikku."
Ibu jari Jinhwan mengelus punggung tangan Sana yang ia genggam. "Tapi, lain kali kalau ada sesuatu yang mengganjal di hati atau pikiranmu, langsung bilang ke aku, ya." Sebisa mungkin Jinhwan berbicara dengan lembut agar istrinya tidak salah mengartikan. "Marah-marah aja ke aku, luapin semuanya ke aku. Kita selesain berdua, sebisa mungkin keluargaku dan kamu nggak tau."
Tangan kiri Jinhwan mengulurkan undangan ya sebelumnya ia simpan di kursi samping. "Namanya Asuka, dia temen SMA aku waktu kelas 10. Dia dateng ngasih undangan nikahannya." Dengan lembut Jinhwan menjelaskan. "Kamu bisa tanya ke Suzy kalo nggak percaya. Asuka pindah ke luar kota pas kelas 11, makanya kamu nggak liat dia di Bina Nusa."
Sana masih tetap diam. Sebenarnya ia sudah tahu siapa Asuka, Suzy yang memberi tahunya kemarin. Sayangnya karena gengsi Sana terlalu tinggi, ia enggan mengakui kesalahannya menuduh Jinhwan melakukan hal yang tidak-tidak.
"Janji, ya. Lain kali, apapun yang kamu lihat, atau bahkan kamu dengar. Masalah apapun yang ada di rumah tangga kita, kamu langsung ngomong ke aku. Kita selesain semuanya berdua, sebisa mungkin nggak ada orang luar yang tau." Jinhwan masih tetap berbicara dengan lembut. Tangan Sana yang ia genggam bahkan berkali-kali ia cium.
"Ma-maaf," gumam Sana pelan. Bibirnya sudah bergetar. Air mata siap mengalir membasahi pipinya. "Aku salah."
Tangan kiri Jinhwan dengan sigap mengusap air mata Sana. Sedari tadi ia berusaha untuk tidak membuat air mata Sana menetes. Sayang, usahanya gagal.
"Nggak apa-apa, biar ini jadi pembelajaran kita," kata Jinhwan. "Besok-besok, jangan pergi diem-diem, ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa, apalagi bawa Jisung, sedangkan kandungan kamu udah besar."
Dengan manja Sana mengangguk. Napasnya tersendat-sendat karena berusaha menahan tangis. "Mas marah sama aku?" tanya Sana. Matanya menatap sendu kepada Jinhwan.
"Nggak," jawab Jinhwan. Ia beranjak dari posisi duduknya, mendekat kepada Sana. "Aku khawatir. Walaupun kamu perginya ke rumah Mamah, tetep aja aku takut kamu kenapa-kenapa pas di jalan. Aku takut kamu susah tidur malem gara-gara adek nggak bisa diem di dalem perut. Aku juga khawatir kalo kamu harus kebangun gara-gara Jisung minta dibuatin susu."
Sana langsung memeluk pinggang suaminya. Menjadikan perut Jinhwan sebagai tempat bersembunyi. "Maafin aku, ya, Mas."
"Iya," jawab Jinhwan. Ia masih tetap berdiri. Tangannya mengelus surai Sana dengan lembut. "Jangan diulangi lagi, ya."
💃
"Mamah, Papah sama Jisung ke mana?"
"Aku ungsiin ke rumah," jawab Jinhwan santai. Ia sedang mengupas apel untuk Sana. "Mangganya mau lagi?"
Sana menggeleng sebagai jawaban. "Terus kita cuma berdua?" tanya Sana sembari menikmati jeruknya.
"Iya," jawab Jinhwan yang ikut menikmati buat yang dikupasnya. Malam ini ia kembali menjalankan tugasnya, menemani Sana menonton Aldebaran dan Andin.
"Mas, kemarin aku liat tenda punya Jisung di gudang."
"Kamu ngapain ke gudang?" tanya Jinhwan yang salah fokus.
"Nggak ngapain-ngapain, cuma iseng nyari sesuatu aja," balas Sana dengan tenang. "Mas, itu tendanya masih bener, kan, ya?"
Tatapan mata Jinhwan langsung berubah menjadi siaga. Pertanyaan Sana seakan memberi pertanda bahwa ia harus ancang-ancang akan permintaan Istrinya. "Emang kenapa, Mah?"
"Kamu bisa bikin api unggun nggak?" Bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Sana justru kembali melempar pertanyaan kepada Jinhwan.
"Kenapa, Sayang?" Jinhwan sudah ketar-ketir. Istrinya memang sudah hamil tua, tetapi beberapa permintaan aneh masih sering ia terima.
"Kita tidur di tenda, yuk. Terus kamu bikin api unggun biar anget."
Jinhwan memaksakan sebuah senyuman. Otaknya sudah berpikir keras untuk menolak permintaan Sana dengan baik. Sebisa mungkin ia berusaha agar istrinya tidak ngambek.
"Atau, kita suruh Niel aja yang tidur di tenda?" tanya Sana dan langsung dijawab anggukan Jinhwan.
Kang Daniel, teman kecil Sana yang tinggal di rumah depan. Selamat engkau terkena karma karena sebelumnya sering menertawakan Hanbin saat menjadi korban para zigot.
.
.
."Anj! Gue lagi masuk angin, Mas. Liat, nih. Abis dikerokin!"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] KIMcheees 3x✓
Fanfic[KIMcheees Series] [3] Rumah tak lagi terasa ramai Justru kini teras sepi Tak ada Karaoke ala Hanbin, Bobby Tak ada pertengkaran antara Bobby, Dongii Haruto yang bisa menggila sendiri Hanbin lebih sering di rumah sakit Dahyun sibuk bekerja dan kulia...