Sebagai permulaan, Trophy memang mendapati Lazuardi membeli mobil baru. Di Singapura yang memiliki banyak aturan dan harga kendaraan pribadi yang tinggi, Opy tidak heran ketika Ardi yang memiliki nama keluarga Goshen mendapatkannya dengan mudah. Terlebih lagi, sepertinya Ardi memang memiliki pekerjaan penting selama di sana. Melihat pria itu tidak mengurangi apa pun dan justru menambah properti, Opy menjadi bertanya-tanya apakah semua itu dilakukan untuknya?
"Kamu beli mobil ini untuk kamu pamerkan ke aku?" tanya Opy yang langsung bersedekap tangan menatap mobil baru Ardi.
Lazuardi sama sekali tidak terintimidasi dengan pertanyaan Opy. Dia justru tertawa kecil karena ekspresi perempuan itu yang lucu.
"Hei. Aku nggak pernah pamer."
Trophy menyatukan kedua alisnya. "Terus ini apa namanya?"
Dalam beberapa kondisi, Trophy memang memiliki pembawaan lembut dan tenang. Namun, dalam kesempatan ini Ardi mendapati Opy yang berbeda. Trophy yang ini lebih mau menunjukkan dirinya yang ketus. Lebih kekanakan tanpa membawa sisi dewasanya.
Apakah ini pertanda bahwa Opy sudah mulai terbiasa dan nyaman dengan Ardi?
"Aku meminta kamu untuk ke sini, melihat mobil barunya supaya aku tahu, apa ini cocok untuk kegiatan sehari-hari kita nanti? Selama tinggal bersama, kita harus selalu kompromi. Aku nggak ingin memiliki kendaraan yang partner-ku nggak suka."
Trophy tidak salah mendengar sama sekali. Partner. Pria itu menyebutkan demikian. Di negara bebas seperti Singapura, partner memiliki artian yang lebih dari sekadar rekanan bisnis. Maknanya sudah menjurus pada kehidupan pribadi.
"Kamu bisa beli kendaraan apa pun yang kamu suka, Ardi. Aku nggak ingin menjadi partner yang mengekang kebebasan kamu."
Lazuardi mendapati jawaban yang terdengar salah di telinganya. Bagaimana Opy mengatakannya adalah yang paling penting. Perempuan itu memang tidak mendesis, tapi menekankan bahwa mereka tidak sedalam itu hingga harus saling membatasi keinginan satu sama lain. Ardi tidak mau tercipta pemikiran semacam itu. Pria itu menginginkan kehidupan 'tinggal bersama' yang hampir sama dengan rumah tangga.
"Bukan mengekang, Opy. Aku memberikan ruang dan waktu untuk selalu berargumen dengan kamu. Ini bukan hanya tentang aku atau kamu lagi. Menyepakati tinggal bersama untuk saling dekat, itu sama dengan menyepakati untuk saling membagi pendapat."
"Untuk apa? Kita bukan rekan kerja. Kita tinggal bersama supaya nantinya nggak ada gap yang membuat kita terlihat nggak cocok sebagai orangtua anakku, bukan?"
Ardi menaikkan jari telunjuknya. Menggerakan bagian dari tangannya itu di depan wajah Opy. Bukan bermaksud tak sopan, tapi Ardi ingin menghentikan ucapan Opy.
"Sepertinya ada yang salah di sini, Trophy. Aku nggak hanya meminta kita sekadar tinggal bersama. Lebih dari itu—"
"Kamu bilang nggak akan manfaatin keadaan!" potong Opy sedikit kesal.
"No, no, no! Bukan itu. Jangan potong dulu, dengarkan aku."
Opy mengalah dan memutuskan untuk mendengarkan pria itu tanpa menyela.
"Trophy, kita tinggal bersama untuk membangun kepercayaan. Hubungan yang baik adalah komunikasi. Dua kunci utama itu adalah pondasi. Jadi, aku ingin kamu mengatur—katakanlah ngasih masukan untukku. Untuk apa pun yang aku lakukan. Bukan untuk mengekang, tapi memberi masukan. Kita akan tinggal bersama. Jangan libatkan sisi egois aja, kita harus bekerja sama. Bukan hanya untuk bayi kita, tapi untuk keluarga yang akan kita bangun untuk anak kita. Clear?"
Trophy malu. Pipinya memerah dengan semua penekanan kata 'anak kita' yang Ardi gunakan. Sepertinya Opy terlalu kesal memikirkan bahwa Ardi tipe pria yang bisa mendapatkan apa saja hingga bersikap seperti ini. Padahal Opy harusnya sudah mengerti apa arti dari tinggal bersama dengan Ardi.
"Maaf. Aku nggak tahu kenapa terbawa kesal tadi." Diusapnya kening Opy sendiri. "Sepertinya efek dari kehamilan ini juga berpengaruh."
"It's okay. Aku tahu nggak mudah menerima kehadiranku yang masih asing buatmu. Pelan-pelan, Opy. Aku bisa menunggu."
Trophy menatap Ardi dengan sedih. "Kamu sama sekali nggak seperti orang asing. Aku yang takut."
"Hm? Takut apa?" balas Ardi.
"Aku hanya takut kamu sama dengan ... ya, kamu tahu itu siapa. Aku takut kamu juga pria yang mudah mendapatkan segalanya. Hingga akhirnya kamu memamerkan apa yang kamu dapat ke aku. Sorry. Aku berpikiran buruk tentang kamu. Padahal kamu terlalu baik, kamu nggak pantas dibandingkan dengan orang itu."
Begitu Trophy diam, keheninganlah yang menyapa mereka. Berdiri di dekat mobil baru Ardi terasa aneh.
"Kalau begitu kamu harus buktikan, Opy."
Opy menatap Ardi bingung. "Buktikan apa?"
"Buktikan bahwa aku, pria yang benar-benar nggak pantas kamu bandingkan dengannya. Buktikan bahwa aku adalah aku. Lazuardi. Pria yang nggak akan pernah kamu temukan dan kamu bayangkan sebelumnya untuk hadir dan mencintai kamu sedalam ini."
Apa Opy sedang bermimpi?
"Ehm." Salah tingkah Trophy dibuatnya. "Jadi, apa kamu nggak ajak aku keliling dengan mobil baru ini?" tanya Opy mengalihkan.
"I'll ride for you. Anywhere you want, My Opium."
KAMU SEDANG MEMBACA
HE WANTS TO FIX ME / TAMAT
General Fiction{Tersedia e-book di google playbook untuk versi lengkap seperti versi buku. Di Wattpad tersedia bab tamat versi Wattpad.} Trophy Aglaea harus merasakan kecewa dan rasa sakit yang begitu panjang karena hancurnya kepercayaan akan hatinya dihanguskan...