Dari dalam kamar yang sangat 'lakik' itu, Opy bisa mendengar perdebatan di depan pintu. Sepertinya bukan hanya Ardi yang panik dengan sikap bungkam dan mengunci diri Opy ini, ada suara perempuan-sudah pasti Alini-yang sepertinya terisak pada Ardi.
"Aku nggak bermaksud gitu ..."
"Tapi lihat sekarang! Kamu tahu nggak, Al? Kamu sangat kekanakan menyikapi kakak ipar kamu yang sedang hamil. Kamu nggak bisa lihat kalau Opy sedang dalam masa yang nggak sepenuhnya baik? Kehamilan membuatnya nggak jadi dirinya sendiri. Apa kamu mau dipaksa berdebat seperti itu ketika kamu sudah lelah dengan keinginan dari dalam diri kamu yang nggak disengaja?!"
Lazuardi memang tipikal yang selalu mengerti keadaan. Pria itu bahkan lebih peka dengan kondisinya yang sedang berbadan dua dan tidak selalu melakukan apa pun sesuai keinginannya sendiri. Bahkan Ardi yang justru memberitahu adiknya, yang sesama perempuan, lebih teliti dari sosok yang seharusnya lebih paham.
"Kamu senang kalau Opy sampai berpikiran buruk? Kamu suka lihat kondisi kakak ipar kamu memburuk dengan kamu tekan dia menuruti pandangan kamu?"
"Aku nggak mau begitu, Mas Ardi. Aku cuma mau kalian balik ke Jakarta dan menikah dengan cara yang harusnya."
"Dan kamu pikir itu menyelesaikan masalah? Dengar, Al. Kita sudah bicara soal ini, tapi kamu nggak ngerti juga. Keluarga Opy akan menekannya sama seperti yang kamu lakukan, dan dalam situasi seperti itu, kondisi kehamilannya bisa bermasalah. Dan kamu tahu apa? Aku yang akan sangat bermasalah dan melawan mereka semua jika terjadi sesuatu dengan Opy dan anak kami. Termasuk kamu. Apa kamu mau melihat aku bersikap kasar seperti ayah kita? Kamu mau membangunkan sisi diri kakak kamu yang mewarisi gen buruk itu?!"
Opy menjadi tak enak hati dengan semua ini. Dia tak mau kakak beradik itu bertengkar. Tadi itu, dia hanya terbawa emosi karena memang dirinya sedang dalam kondisi labil. Mendengar perdebatan kakak beradik itu mengingatkannya mengenai diri Opy sendiri dan Ery. Itu tidak menyenangkan.
Buru-buru Opy membuka pintu dan meraih tangan Ardi yang mengacung di depan wajah Alini.
"Ar, berhenti. Nggak gitu caranya menegur Alini," ucap Opy menghentikan suaminya sebelum menyesali kemarahannya.
Alini tak menatap Trophy sama sekali. Dia menyusut airmata dan mengedarkan pandangan ke arah lain.
"Kamu bukannya marah sama Alini? Kenapa kamu bela dia?" tanya Ardi.
"Aku nggak marah. Justru aku bingung sama diriku sendiri yang nggak seperti biasanya. Maaf, Alini. Aku nggak bermaksud membuat drama, tapi sebagai sesama perempuan, drama itu hal yang wajar untuk dilakukan. Jadi, lebih baik kita berdamai sekali lagi sebelum kita bertengkar lagi karena aku akan sering berubah sikap."
Lazuardi tahu bahwa dia tak salah memilih pasangan. Opy adalah pribadi apa adanya. Dia meminta maaf pada Alini dan mengajak berdamai, tapi tetap menyatakan genderang perang.
"Aku juga salah, kok. Bukan kamu aja yang harus minta maaf. Thanks, udah mau ngalah buka pintu dan minta maaf duluan. Kalo nggak, kakakku bakalan nuduh aku terus. Sorry karena nggak peka soal kehamilanmu."
Lazuardi masih tak sepenuhnya lega. Dia menunggu kalimat lanjutan yang harusnya Alini ucapkan. Dan Alini yang mendapatkan tatapan tajam dari kakaknya jelas langsung sadar diri.
"Aku nggak akan komentar lagi soal keputusan menikah yang benar atau nggak. Tapi aku nggak janji dengan mulut ketusku, sampai ponakanku dapat status yang jelas juga di keluarga Goshen."
Tanpa permisi dan tanpa pamit, Alini pergi dari depan kamar pasangan itu. Ardi tahu masalah sudah jelas ujungnya. Hanya saja memang pertengkaran, baik kecil atau besar akan tetap ada diantara adiknya dan istrinya.
"Kamu hampir kelepasan?" tanya Opy pada suaminya.
"Kelepasan apa?"
"Mukul adik kamu. Apa kamu mau melakukannya tadi?"
Ardi menggelengkan kepala. "Aku hanya ancam Alini aja. Aku selalu mengontrol emosiku karena dari kecil aku punya terapis dari kakek. Begitu juga Alini, tapi yang namanya sifat dasar manusia nggak akan bisa gitu aja berubah. Alini dan aku mewarisi sifat nggak mau kalah, arogan, dan sedikit kasar. Kami mengalihkannya dengan perdebatan yang keras, tapi nggak membiasakan menggunakan kekerasan."
Trophy menghela napas lega dan langsung memeluk tubuh Ardi. Dia hirup aroma dari pakaian pria itu, mengalungkan tangan pada leher Ardi erat.
"Kamu lemas, Opy?"
Perempuan itu menggeleng. Dia tidak lemas. "Cuma manja aja sama kamu," jawab Opy tanpa menutupinya.
"Mungkin Alini juga ingin tetap mendapat perhatian dari kamu, Ar. Makanya, aku nggak yakin bisa damai terus sama Alini atau nggak. Soalnya aku bakalan nuntut perhatian kamu lebih dari siapapun dan Alini akan cemburu terus sama aku."
Ardi menghela napasnya dan mengusap rambut istrinya. "Aku akan suruh Tristan jadi kakaknya supaya Alini bisa dapat perhatian penuh."
Opy mendongak, dengan kernyitan perempuan itu berkata, "Mereka mungkin bakalan lebih dari itu kalo terlalu dekat, Ar."
"Apa? Nggak boleh ke arah sana! Mereka harus deket sewajarnya." Sikap protektif itu muncul.
"Tapi kamu bukan Tuhan. Kalo mereka saling suka, gimana?"
"Nggak bisa."
Opy menggeleng tak percaya. Jika begini, kelihatan bahwa Ardi dan Alini memang adik tulen. Dari darah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
HE WANTS TO FIX ME / TAMAT
Fiksi Umum{Tersedia e-book di google playbook untuk versi lengkap seperti versi buku. Di Wattpad tersedia bab tamat versi Wattpad.} Trophy Aglaea harus merasakan kecewa dan rasa sakit yang begitu panjang karena hancurnya kepercayaan akan hatinya dihanguskan...