34. LAZUARDI

9.1K 1.5K 46
                                    

Room tour tidak pernah  dilaksanakan oleh Ardi untuk Opy. Mereka baru beberapa jam saja sampai di kediaman tersebut. Opy juga menguap berulang kali masih ingin tidur dengan nyenyak kembali. Tampaknya semakin tak bisa mengendalikan dirinya sendiri atas bawaan bayinya. Ardi sampai berulang kali menggelengkan kepala dengan senyuman merekah di wajah pria itu. Lucu sekali mendapati wajah Trophy yang tidak kunjung puas dengan tidurnya.

"Kamu masih jet lag?" tanya Ardi.

Opy menjawabnya dengan gelengan kepala. Sekali lagi menguap pada jam yang belum sepenuhnya menunjukkan pukul tujuh itu.

"Terus itu kamu yang masih suka menguap dan kelihatan lelah, apa namanya?"

"Ini bukan jet lag namanya. Selama hamil, mau naik pesawat atau nggak akan sama aja. Aku ngantuk terus, semakin bertambah usia kandungannya semakin aku hobi tidur terus."

Akhirnya Ardi menunjukkan tawanya tanpa menahan diri. Trophy memang sosok yang natural. Semua gaya berucapnya dan pembawaan dirinya selalu menenangkan diri Ardi. Menyenangkan sekali mendapati Trophy yang semacam ini.

"Kenapa kamu ketawa?" tanya Trophy bingung.

"Kamu yang menguap berulang kali begini sangatlah lucu," ujar Ardi jujur.

Opy membayangkan ekspresinya sendiri, segera setelahnya ia tertawa dengan keras. Mengikuti Ardi yang menjadi bertambah gemas dengan perempuan itu.

"Ya, ampun! Kenapa nggak bilang dari awal, sih, Ar? Kalo kamu lihat aku nguap terus dari tadi, pasti aku kelihatan jelek berulang kali."

Opy sempat memukul lengan pria itu dan melihat wajahnya sendiri di depan kamera ponselnya. Wajahnya bergerak ke kanan dan ke kiri, bahkan ia menaikkan kelopak matanya untuk memastikan tidak ada kotoran di pelupuk matanya yang tertinggal karena terlalu banyak mengantuk.

Dalam sekejap ponsel Opy diraih oleh Ardi dengan cepat. Mengejutkan Opy karena gerakannya memastikan kondisi wajahnya malah diganggu oleh pria itu.

"Kenapa diambil hapenya? Aku mau lihat kondisi muka aku sekarang. Pasti aku jelek banget dari tadi. Kamu jahil banget, sih!"

Opy berusaha untuk meraih ponselnya dari Ardi. Namun, tak bisa. Perempuan itu bahkan sudah merasa lelah dalam beberapa kali raihan tangan saja. Mendesah napas kesal, Opy kembali duduk dan mendengkus pada Ardi.

"Apa?" sahut Ardi sengaja memancing kekesalan perempuan itu. "Ayo, ambil hape kamu kalau kamu bisa, Opy. Ayo, ambil!"

Trophy memicingkan mata. Berlagak seolah-olah dia memang kesal dengan semua yang dilakukan Ardi.

"Apa yang kamu pikirkan, hm? Kenapa kamu melihatku seperti itu?"

Trophy memajukan wajahnya dengan sengaja pada Ardi. Memberikan dorongan takut pada pria yang bermain-main dengannya kini.

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan dengan semua ini, Ar."

"Hm? Tahu mau ngapain?" Ardi belum menurunkan ponsel Opy dari tangannya dan semakin kaku karena Opy memojokkan dirinya hingga ke ujung sofa. "Kamu kelihatan menakutkan dengan ekspresi wajah seperti ini, Opy."

"Aku memang mau membuat kamu takut," balas Opy ringan.

Sungguh Ardi tidak tahu apa yang akan dilakukannya kini. Menyingkirkan Opy dari depannya tanpa menyakiti perempuan itu bagaimana? Harus disentuh, kan? Ardi hanya takut kelepasan jika menyentuh perempuan itu. Padahal niat awal memang hanya ingin menggoda Opy saja. Sekarang malah posisi perempuan itu sudah berada diantara kaki Ardi di atas sofa. Alarm bahaya berbunyi di kepala Ardi dengan cepat. Jangan sekarang, Opy. Jangan sekarang.

Pikiran Ardi yang sudah kemana-mana harus bertambah semakin melayang kotor. Opy kembali menciumnya lebih dulu. Jika di kamar perempuan itu ciuman mereka hanya sekadar menempel ringan, maka kali ini Ardi meremang merasakan gerakan samar yang dilakukan Opy.

"Apa yang kamu ... lakukan, Opy?" Ardi terperangah. Wajahnya memerah dengan posisi tubuh yang sangat kaku. Menatap bingung antara mata dan bibir Opy.

Hal seperti ini semakin sering berulang diantara mereka. Apa karena Ardi terlalu menginginkan perempuan di hadapannya kini?

"Mungkin aku terlalu buru-buru, Ar. Tapi aku ... punya satu kelemahan selama hamil."

"Apa?"

Opy menurunkan pandangannya lebih dulu. Bukan hanya sekadar menunduk saja, melainkan mengarah pada dada dan pangkal paha Ardi yang kini tersudutkan. Tentu saja Ardi menelan ludahnya susah payah.

"Opy ..."

"Jujur, Ar. Aku nggak bisa menahan diriku sendiri dari kelemahan semacam itu. Setiap kamu menyentuh punggungku, aku meremang. Bahkan saat kamu nggak sengaja menyenggol bagian lain sewaktu kita berdekatan, aku memikirkan hal semacam itu. Saat kamu begitu takut menciumku, aku justru ingin kamu mengambil alih permainan. Aku ingin kamu menciumku dengan dalam. Tanganmu yang berada di leherku, menekan jarak diantara kita untuk semakin habis, dan lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Ar. Jujur, aku butuh kamu."

Itu murni terisi dengan gairah yang menggelegak besar. Trophy sepertinya memang memiliki hormon dan gairah yang berlebih semenjak hamil. Haruskah Ardi melakukannya? Karena meski Ardi sangat terbiasa dengan hidup bebas, tapi ia tak mau merusak Trophy.

Trophy menyentuh rahang Ardi cepat. "Kamu nggak merusak aku, Ar. Ini hubungan yang terjadi diantara kita. Aku memberikan izin bagi kamu untuk menyentuh tubuhku, kalau kamu juga menghendakinya ... kita memiliki satu keinginan yang sama."

Trophy adalah adiksi sekaligus cobaan yang sebenar-benarnya untuk Ardi. Jika begini terus, bagaimana bisa Ardi menahan diri?

HE WANTS TO FIX ME / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang