59. Tato Kupu-kupu

514 85 2
                                    

"Manusia hanya perlu apresiasi dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain."
🍂

Karena Ibu panti masih tidur Galang mengajak Raya untuk duduk di halaman panti melihat anak-anak yang sedang lari-larian sambil memainkan mainan yang baru mereka dapat. Raya melihat betapa beruntungnya mereka yang masih menikmati masa kecil dengan baik tanpa gadget dan semacamnya. Galang pun tersenyum melihat Raya bahagia di tengah-tengah mereka. "Ibu panti sakit apa?" tanya Raya mengawali pembicaraan mereka.

Galang pun langsung memutus pandangannya dari Raya. "Hipertensinya kambuh lagi. Makanya nggak bisa hadir di pertunjukannya Asha. Padahal Asha pengen banget Ibu liat dia tampil di atas panggung."

Raya paham dengan perasaan Asha. Dia pasti ingin membuat Ibunya bangga. "Kan kita tadi juga ngerekam pertunjukannya. Nanti kalau Ibu udah baikan, lo sama Asha tunjukin aja videonya. Pasti Asha seneng banget Ibu bisa nonton dia."

Semangat Galang yang mulai hilang pun muncul karena perhatian kecil dari Raya. "Makasih ya, Ra." Raya pun membalasnya dengan senyuman manis.

"Kalau Ibu sakit, terus yang ngerawat anak-anak siapa?" tanya Raya mengingat Ibu panti yang sedang sakit.

Galang pun tak sungkan menceritakan tentang panti yang dia tempati. "Di panti ini ada Suster yang bantu-bantu. Selain itu anak-anak yang sudah besar juga bantuin. Jam segini mereka masih sekolah sih."

"Emangnya berapa anak yang tinggal di sini, Ga?"

"Nggak banyak sih. Sekitar lima belas anak. Yang SMA ada dua, cewek cowok masih kelas sepuluh dan sebelas. SMP ada 3. Nah, yang lainnya tuyul-tuyul itu ada sepuluh anak."

Melihat kehidupan di panti Raya merasa ingin tahu lebih banyak. Terlebih kisah Asha, gadis kecil yang kehilangan lima jarinya. Entah mengapa Raya merasa susana panti membuatnya tenang meskipun di tengah keributan.

"Bay the way, dulu bukannya lo dijemput om sama tante lo pas orang tua lo meninggal? Kenapa bisa lo hidup di panti?"

Mendengar pertanyaan sensitif dari Raya membuat Galang menunduk dengan lemas. Hampir saja Raya menyesali pertanyaannya, tapi dia tiba-tiba melihat Galang tersenyum. "Gue justru berterimakasih sama mereka karena mereka nggak jual gue. Waktu gue kecil gue emang nggak tahu apa-apa, tapi semakin beranjak dewasa gue bisa paham dengan keadaan mereka.

Dulu mereka yang ambil alih perusahaan Papa, tapi karena om gue kurang cakap dalam berbisnis perusahaan Papa gue direbut sama rival bisnis Papa. Setelah om tante gue pailit mereka memutuskan tinggal di luar negri ikut orang tua tante gue dan tentu saja mereka nggak bisa bawa gue karena orang tua tante gue nggak suka sama gue."

Cukup memilukan kisah Galang. Tapi, Raya tak melihat sedikit pun kekecewaan ketika Galang menceritakannya. Seolah hal itu memang seharusnya terjadi. "Mereka masih hubungi lo?" tanya Raya lagi dan Galang pun menggeleng.

"Mereka udah punya kehidupan sendiri, Ra. Gue nggak berharap mereka datang ke kehidupan gue lagi. Meskipun cuma tinggal om gue itu satu-satunya saudara yang masih ada hubungan darah sama gue."

Entah, mendengar cerita Galang tak membuat Raya iba, justru gadis itu tenang karena ketika bercerita Galang seolah membawanya menulis cerita di lembaran baru tanpa mencorat-coret lembaran lama. Begitu sederhananya Galang menyikapinya, meskipun entah di dalam hatinya apa yang terjadi.

"Lo hebat banget, Ga." Gumaman Raya itu membuat Galang menoleh ke arahnya dengan menaikkan sebelah alisnya. Pujian Raya tanpa sengaja membuatnya salah tingkah. "Hebat maksudnya?" tanya Galang kembali.

"Ya hebat aja. Gue nggak perlu mendeskripsikan hebat dalam hal apa. Tapi, gue lihat lo emang bener-bener hebat. Udah itu aja." Dan untuk kesekian kalinya Raya melihat Galang yang tertawa. Pemandangan yang jarang dia temui selama di sekolah.

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang