42. Dilema

577 88 11
                                    

"Apa gunanya hati kalau tidak punya rasa empati."

🍂

Raya sudah bersiap untuk menjenguk Aurel yang kritis semalam. Meskipun gadis itu menjadi ancaman hubungannya dengan Satriya, tapi Raya masih punya hati untuk berharap agar gadis itu sembuh. Entah mengapa untuk urusan hidup dan mati rasa empati Raya sangat kuat.

Ojek online yang dia pesan sudah menunggunya di depan rumah dan siap mengantarnya ke rumah sakit.

"Mbak Naraya?" tanya driver ojek itu.

"Iya, Pak. Sesuai aplikasi ya," jawab Raya seraya memasang helm, lantas naik ke jok motor driver itu.

Sepanjang jalan pikiran Raya berkelana ke mana-mana. Mulai dari memikirkan kondisi Aurel hingga memrediksi hubungannya dengan Satriya kedepannya.

"Mbak, sudah sampai."

Raya tersadar dari lamunannya dan bergegas masuk ke rumah sakit untuk segera melihat kondisi Aurel.

Dari kejauhan Raya melihat Aura yang duduk di depan ruang rawat Aurel sembari sesekali mengusap air matanya yang menetes dengan spontan. Miris sekali melihat Aura. Gadis itu bahkan belum beranjak dari tempat itu sejak kemarin. Perlahan Raya mendekatinya dan berdiri tepat di depannya.

Aura mendongak merasakan kehadiran Raya dan langsung memeluknya. Pelukan itu semakin erat disertai isakan lemah membuat hati Raya teriris. "Aurel koma," ucapnya dengan suara bergetar. Seketika Raya tak tahu harus melakukan apa. Tangannya tak direncanakan terulur untuk mengusap punggung Aura.

Tak mau salah berucap Raya hanya memosisikan dirinya sebagai sandaran Aura. "Please, lo izinin Satriya buat jenguk dia. Cuma Satriya alasannya bertahan."

Raya seketika terbelalak. Apa yang harus harus dia katakan. Lidahnya seolah kelu mengatakan sepatah katapun. Baru saja meyakinkan dirinya untuk bertahan dengan Satriya, haruskah sekarang merelakannya demi Aurel? "Boleh gue lihat Aurel?"

Aura mengurai pelukannya dan menuntun Raya masuk ke ruang rawat Aurel. Dipandanginya tubuh Aurel yang terbujur tak berdaya dengan dipenuhi alat bantu di sekujur tubuhnya, seolah ia bisa merasakan kesakitan Aurel.

Rasa bersalah dalam dirinya semakin besar. Di saat kondisi Aurel yang seperti itu tidak ada yang bisa ia lakukan. Semakin melihat wajah Aurel, semakin tak kuat memandanginya lama-lama. Dengan mengumpulkan tenaganya, ia bergegas keluar.

"Mau kemana?" tanya Aura dengan kerutan di kening.

Raya mengehentikan langkahnya dan berbalik menatap Aura. "Gue pulang dulu. Ada urusan sebentar."

🍂

Turun dari ojek online Raya berhenti di depan rumah Satriya yang berdiri megah, lantas menekan bel yang berada di sebelah gerbang hingga mengundang seorang pria paruh baya menghampirinya. "Cari siapa, Non?" tanya tukang kebun Satriya yang membukakan gerbang untuknya.

"Satriya ada, Pak? Saya temannya."

"Oh, temannya Den Satriya. Mari, Non silakan masuk." Tukang kebun itu mengantarnya sampai dalam rumah.

Ketika menginjakkan kaki di rumah Satriya, Raya tak berkedip mengamati detail interior rumah mewah itu. Bahkan rumahnya tidak ada apa-apanya dibanding rumah Satriya. Perbandingannya satu dibanding sembilan puluh. Ya, jauh sekali.

Pandangannya beralih pada sebuah sketsa bunga matahari yang dipajang di atas meja sudut dengan bingkai hitam. Gambaran itu terlihat istimewa karena di kelilingi bunga-bunga asli.

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang