30. Membuka masa lalu

721 101 7
                                    

"Rahasia tak perlu dikunci dengan kebohongan. Diam jika tidak ingin ada yang tahu, dan jujur jika terlanjur mengatakan."

~

🍂

"Pergi dari situ!"

Suara wanita paruh baya itu membuat Raya menahan napas terlebih lagi wanita itu menodongkan sapu pada mereka berdua.

"Sudah Bunda bilang,  kalau parkir motor jangan di area rumput, nangis nanti rumput Bunda."

Fuuuh, Raya melepas napasnya dengan lega. Dia pikir wanita itu memarahinya. Dan ternyata hanya gara-gara rumput.

"Yaelah,  Bunda ngagetin aja deh! Tuh anak orang hampir jantungan," jawab Satriya sambil melirik ke arah Raya.

Wanita itu menjatuhkan sapunya dengan slowmotion. Ekspresinya berubah menjadi tercengang melihat putranya membawa sesosok gadis kerumah.

"Kamu nyulik anak siapa ini,  Satriya?  Cantik sekali kayak Bunda,  ayo masuk, Sayang!" Wanita itu mengayunkan tangan pada Raya.

Satriya memutar matanya malas setelah itu membisikkan sesuatu pada Raya. "Sorry, Ra Bunda gue memang punya penyakit pede akut."

Raya menahan tawanya mendengar Satriya mengata-ngatai bundanya sendiri. Memang dasar anak laknat.

"Eh," Raya terbelalak bundanya Satriya tiba-tiba menuntunnya masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Satriya yang mulai cerewet. Laki-laki itu hanya bisa menghela napas pasrah dikacangin dua perempuan didepannya. Laki-laki itu lantas mengekor di belakang mereka berdua. Dari kejadian ini akhirnya Raya tahu dari mana sikap seenaknya Satriya menurun.

"Saya Diana-bundanya anak tengil itu, nama kamu siapa?" tanya bundanya Satriya sambil memasuki rumah.

"Raya, Tante."

Wanita itu menununtun Raya ke meja makan sambil memberikan tempat duduk Padanya.

"Bunda sudah masak yang banyak, jadi kalian harus makan yang banyak juga," ucap Diana sambil menyiapkan piring di depan Raya dan Satriya lantas menyendokkan nasi pada piring mereka.

"Terima kasih, Tante," ucap Raya malu-malu kucing.

"Kok Tante?  Panggil Bunda juga dong sama kayak Satriya."

Suasana macam apa ini?  Kenapa Diana membuat Raya mendadak menjadi canggung. Semoga senyum canggungnya terlihat tulus setelah sebelumnya menganggukkan kepala. "Iya Bunda."

"Nah,  begitu kan manis."

Diana sangat pengertian. Satriya pasti bahagia sekali punya ibu seperti dirinya. Ah,  Raya teringat Mamanya yang mungkin saat ini masih sibuk dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Mana mungkin menemaninya makan bahkan di saat weekend.

Di meja makan tersaji berbagai macam lauk pauk buatan Diana. Dalam hati Raya mengabsen satu persatu makanan yang ada di depannya, mulai dari ayam goreng, bakwan jagung, ikan bakar,  tumis kangkung,  capjay,  sayur asem dan yang terakhir pandangannya tertuju pada salah satu masakan yang membuat Raya meneguk ludahnya, Sambal terong?  Huaaaaa!  Kenapa di saat seperti ini Raya harus bertemu dengan musuh bebuyutannya itu?

"Kalau gak suka sambal terong makan yang lain aja," Satriya memang peka sekali dengan perubahan ekspresi Raya.

"Ha?  Enggak kok,  gue suka sambal terong,  iya suka kok."

"Gak usah bohong, gak inget dulu gue ajak makan di pinggir jalan sampai muntah-muntah gara-gara sambal terong?"

Diana mengerjap-ngerjapkan matanya. "Raya tidak suka sambal terong?" tanyanya heboh sudah seperti kebakaran jenggot. Sedangkan Raya hanya bisa nyengir sambil mengusap tengkuknya merasa tidak enak karena mungkin Diana sudah susah payah membuatnya.  "Maaf tante."

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang