"Yang berharap itu hati, yang mungkin itu logika.
Dan semua yang disebut harapan dapat dengan mudah pupus oleh segala bentuk kemungkinan."🍂
Sudah hampir 30 menit Raya berkeliling sekolah sambil membawa kotak makan. Sama sekali tak menemukan batang hidung Arka. Sampai dia bertemu dengan Agam, teman sekelasnya. Sebenarnya Raya malas bertemu Agam karena pasti hidungnya akan tersiksa oleh bau badannya yang mengeyat bak parfum alami.
"Gam, lihat Arka gak?" Raya menjaga jarak radius 2 meter dari Agam.
Physical distancing kan?
"Gue lihat tadi di kelas," jawab Agam. Laki-laki itu malah maju mendekati Raya. Raya mundur dengan menyumbat hidungnya. "Ih, Gam! Jangan deket-deket gue ngapa sih?"
"Itu, di rambutlo ada cicak." Raya langsung diam mematung. Sama sekali tak bergerak bahkan sampai menahan napasnya. "Gam please ambilin! Gue jijik banget sama ginian."
"Gak mau ah. Lo aja gak mau deket-deket gue." Songong sekali si Agam ini. Rasanya Raya mau menghalalkan hukum mencekik orang. Apa boleh buat dari pada cicak itu semakin nyaman hinggap di rambutnya, Raya harus menurunkan egonya.
"Gak kok, Gam. Gue tadi cuma grogi aja deket-deket elo, ayo dong, ambilin cicaknya, please, Gam, please deh ah, Agam... gue baru sadar kalau lo itu ganteng banget, nget, nget." Jarang-jarang lho Raya merayu. Padahal dalam hati ingin muntah mengatakannya.
"Oke, berhubung lo bilang gue ganteng gue ambilin deh." Tanpa rasa jijik Agam mengambil cicak dari rambut Raya dan lantas memandangi cicak yang dia capit dengan ibu jari dan telunjukknya itu. Lumayan bisa buat ngerjain ciwi-ciwi, dalam hatinya Agam tertawa sendiri.
Raya menghela napas lega.
"Jadi lo udah dapat hidayah Ra, percaya kalau gue itu emang ganteng?" Agam mengusap dagu dengan percaya dirinya.
"Iya, Gam... lo itu emang ganteng, banget deh." Selangkah demi selangkah Raya berjalan mundur dan berbalik lari. "TAPI BOONG."
"DASAR KAMPRET!"
🍂
Raya memasuki kelasnya yang berisik oleh suara Steven yang bernyanyi tidak jelas. Sedangkan Arka sedang tidur mendongak dikursinya dengan mengangkat kaki diatas meja sama sekali tidak terganggu. Hanya ada 4 makhluk disana. Arka, Steven, Doni dan Revan.
"Van, di cariin tuh!" Doni menyikut rusuk Revan. Mereka sedang asik memainkan ponsel miringnya. Saking asiknya, Revan sama sekali tak memedulikan Doni sampai membuat Doni berdecak sebal. "Raya woe! Raya!" Benar saja kalau mendengar nama itu spontan Revan mendongak dan mendapati sosok Raya yang berdiri di ambang pintu. Memang semua indra Revan itu peka setiap menyangkut Raya.
"Nyari Revan, Ra?" tanya Steven yang sedang asik bernyanyi-nyanyi sambil memegang sapu dengan pose bermain gitar.
"Enggak!" jawab Raya sedikit sewot, "Gue nyari Arka. Panggilin dong!"
Steven langsung menghampiri Arka dan menusuk pinggang Arka dengan ujung sapu. "Ka, di cari tuh!"
Arka langsung terjingkat dan menurutkan kakinya. "Ha!" laki-laki itu kaget setengah mati. Bahkan wajahnya terlihat seperti orang linglung.
Raya menghampiri Arka dan mengulurkan kotak bekal yang dibawanya. "Ar, ini buat lo sebagai permintaan maaf gue karena kemaren ngasih minuman lo ke Satriya."

KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA (End)
Jugendliteratur[Masih berantakan karena proses Revisi] Satriya hanya melihat Raya sebagai gadis yang menyukai Galang. Gadis itu sangat menjaga privasinya sampai tak ada yang tahu permasalahan sekecil apa pun yang menimpanya. Lambat laun Satriya semakin menemukan h...