67. Sunset For You

683 83 10
                                    

Mengunjungi Satriya kini menjadi rutinitas Raya setiap pagi. Dia sendiri juga belum diperbolehkan pulang. Keuntungan baginya karena tidak harus jauh-jauh kalau tiba-tiba merindukan kekasihnya itu.

Setelah menyelesaikan sarapan paginya, Raya menenteng sketbook dan pensil menuju kamar Satriya. Tidak lupa mendorong tiang infus ke sana ke mari seperti gadis yang mencari perhatian. Meskipun merepotkan, harus dia lakukan demi bertemu Satriya tanpa mengorbankan kesehatannya.

Sudah menjadi kebiasaannya juga setiap masuk ke kamar Satriya langsung naik ke ranjang dan menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu. Seolah tidak mau jauh dari Satriya dan ingin selalu dekat-dekat dengannya tanpa ada sekat di antara keduanya.

Cukup lama Raya menghabiskan momen bersama Satriya. Setelah puas Raya langsung menegakkan duduknya dan mengambil sketbook di atas nakas. Tangan mungilnya pun sudah mulai menari di atas sketbook polos itu. Sesekali menyelipkan rambutnya yang semakin panjang ke belakang daun telinga karena menghalangi pandangannya.

Pemandangan itu membuat Satriya gemas dan perlahan mengangkat tangannya yang terasa kaku untuk mengumpulkan rambut Raya ke belakang. Spontan Raya menghentikan gerakannya dan menatap Satriya dengan senyuman manis.

"Kalau mau gambar itu dikuncir dulu rambutnya biar nggak ganggu."

Raya yang tidak mau Satriya capek memegangi rambutnya pun memasukkan rambut panjangnya ke dalam baju dan melanjutkan gambarannya. "Kalau dikuncir malah bikin pusing, Sat."

"Kamu pasti sakit banget ya sampai dikuncir aja bisa bikin pusing gitu?"

Raya menggelengkan kepala. "Enggak kok nggak sakit. Cuma nggak nyaman aja," jawab Raya diiringi dengan tawa ringannya.

Satriya belum bisa duduk dengan tegak. Meskipun berada dalam satu ranjang dia hanya bisa melihat punggung Raya. Gadis itu sama sekali tak mengalihkan perhatiannya pada gambarannya. Bahkan terkesan mengabaikan laki-laki itu. "Kamu gambar apa sih serius banget kelihatannya?"

"Gambar kamu."

"Aku?" Satriya sedikit ragu karena biasanya Raya selalu menolak jika diminta menggambar dirinya. Dan Satriya tahu sebuah fakta bahwa Raya akan melakukannya jika itu keinginannya sendiri.

"Kan dulu kamu pengen aku gambar?"

"Iyalah, masa punya pacar jago gambar, pacarnya sendiri nggak mau digambar?"

"Makanya sekarang aku mau gambar kamu. Suka nggak?" tanya Raya seraya menunjukkan gambarannya yang setengah jadi itu.

"Gambar apa pun yang muncul dari tangan kamu, aku pasti suka, Ra. Kamu nggak ada niatan bikin pameran lukisan kayak Om Samudra?"

Wajah Bahagia Raya perlahan memudar mendengarnya pertanyaan Satriya. Dulu, Raya pernah memimpikannya. Tapi, pikiran negatifnya selalu memupuskan impiannya. "Aku nggak bisa ngelukis kayak Papa, Sat. Yang aku bisa cuma bikin sketsa kayak gini. Masa cuma sketsa aku pamerin sih? Kan malu."

"Tapi, sketsa kamu bagus, Ra. Kayak ada nyawanya. Aku pernah kok datang ke pameran sketsa gitu. Sama Om Samudra juga. Kalau nggak salah di Jogja."

Raya sebenarnya masih tidak percaya diri dengan gambarannya. Hanya saja setiap orang yang melihat gambarannya pasti mengatakan bagus. Tapi, tetap saja Raya tidak bisa puas dengan gambarannya sendiri. Mungkin tidak ada salahnya mencoba hal baru?.

"Aku coba ya, Sat."

Satriya cukup lega mendengar Raya mulai menghargai bakatnya. Dia tidak mau bakat kekasihnya itu terpendam sia-sia. "Ra, aku punya sesuatu buat kamu."

Raya mengerutkan kening menunggu kelanjutan ucapan Satriya. Satriya pun langsung melirik ke arah nakas. "Tolong ambilin kotak hitam di dalem, dong!"

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang