66. Jangan Hilangkan Dia

668 78 4
                                    

"Tak apa untuk tak baik-baik saja. Karena semua tak harus baik-baik saja."
🍂

Dua hari setelah sadar dari koma Satriya masih terpukul dengan kenyataan bahwa tubuh bagian bawahnya mengalami kelumpuhan. Sementara itu Raya sudah bisa lepas dari selang oksigen dan diperbolehkan untuk mengunjungi Satriya. Gadis itu berjalan menuju kamar Satriya dengan Juan yang menuntunnya dan mendorongkan tongkat infusnya.

"Gue tinggal dulu, kalau mau balik lo telpon aja." Mereka telah sampai di depan pintu kamar Satriya dan Juan paham bahwa Raya membutuhkan privasi untuk mengabiskan waktu dengan Satriya. Gadis itu pun hanya mengangguk dan mulai membuka pintu kamar Satriya.

Dari ambang pintu Raya melihat Satriya yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong.

"Satriya.... "

Mendengar suara lembut itu Satriya bergegas meraba sekitar matanya memastikan tidak ada jejak air mata yang tertinggal. Matanya menatap Raya yang tengah tersenyum manis dengan mata sayu. Dan dia membalasnya.

"Raya?"

Raya perlahan mendekati ranjang Satriya seraya mendorong tiang infusnya. Pemandangan yang terlihat menyedihkan. Mata mereka saling beradu seolah saling melepas rindu. Tanpa ragu-ragu Raya ikut duduk di ranjang Satriya dan membiarkan tiang infusnya berdiri di sebelahnya.

"Kamu tidurnya lama banget? Kamu nggak kangen aku?"

Pertanyaan Raya itu tidak mampu dijawab Satriya. Bahkan dia sendiri juga tidak tahu kenapa bisa koma selama itu dan apa yang dia rasakan selama koma. Laki-laki itu memegang tangan Raya yang tertancap infus dengan hati-hati. "Kamu sakit lagi?"

Raya menganggukkan kepala dengan lemah. Dia tidak mau lagi menutupi apa pun pada Satriya. "Tapi, sekarang udah nggak. Soalnya udah lihat kamu senyum."

Satriya terkekeh kecil seraya mengangkat tangannya untuk mengusap kepala Raya. Tanpa dia minta, air matanya menetes begitu saja. Tawanya terdengar menyakitkan bagi Raya.

Dengan perlahan Raya mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Satriya yang basah oleh air mata. Menatapnya dengan senyuman manis, akan tetapi matanya juga berkaca-kaca. Seolah Raya bisa merasakan apa yang dirasakan Satriya.

"Nggak apa-apa kan kalau nangis?"

Satriya tak bisa menjawab apa-apa. Mendengar suara Raya justru semakin membuatnya tak bisa menahan air mata. Dia tersenyum, tapi air matanya terus menetes. Tidak mau Raya melihatnya sebagai laki-laki lemah.

Dengan lembut Raya mengusapi air mata Satriya dan menempelkan kedua telapak tangannya di pipi kanan dan kiri laki-laki itu. "Semua nggak harus baik-baik aja, kan? Nggak apa-apa kan buat nggak baik-baik aja?"

Satriya tidak bisa menjawab apa-apa. Dia belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpanya. Sekarang harapannya hanya Raya. Hanya Raya alasannya untuk bertahan.

"Aku bohong kemarin-kemrin bilang nggak mau balikan sama kamu. Aku mau balikan sama kamu, Sat. Aku mau kita sama-sama terus. Aku nggak apa-apa buat nggak baik-baik aja asalkan ada kamu."

Raya belum juga menurunkan tangannya dari pipi Satriya. Dia mengatakan itu seraya menatap mata Satriya dengan mata yang berkaca-kaca. Hingga wajah Satriya terlihat samar di pandangannya.

Satriya lantas menahan tangan Raya untuk tak bergerak lagi. Tetap menyentuh kedua pipinya yang basah. Lalu dia menggeleng dengan lemah. "Aku nggak mau kamu nerima aku karena kasihan, Ra."

"Tapi, aku beneran sayang sama kamu, Sat."

Perlahan Satriya menurunkan tangan Raya. "Jangan sayang sama aku lagi, Ra. Aku nggak mau kamu sedih kalau lihat aku kenapa-kenapa."

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang