63. Tak Ada Maaf

600 79 0
                                    

Malam sudah mulai larut, tapi Raya belum menunjukkan tanda-tanda bangun dari istirahatnya. Bahkan Satriya sudah sudah masuk ruangannya sampai tiga kali karena Nadia dan Dimas juga Juan datang bergantian untuk menjaga.

Satriya duduk menghadap ranjang Raya dengan mata yang sudah mengantuk, tapi dia paksakan untuk terjaga. Tidak mau melewatkan detik-detik Raya membuka mata. Dia ingin yang pertama kali dilihat oleh gadisnya adalah dirinya.

Dan keberuntungan berpihak padanya. Raya mulai menggerakkan kelopak mata dan perlahan melebarkan pandangannya. Seperti yang Satriya harapkan, pemandangan pertama kali yang Raya lihat adalah Satriya yang tengah tersenyum manis padanya. Tapi, seketika Raya memalingkan wajahnya. Dia tidak mau lepas kendali jika mengingat kejadian pagi tadi.

Satriya cukup paham dengan sikap Raya. Dia pun tersenyum pasrah seraya bangkit dari duduknya. "Aku panggilin dokter dulu biar periksa kondisi kamu."

Raya benar-benar mendiamkan Satriya. Dia bahkan tidak mau menjawab sepatah kata pun ucapannya. Dan Satriya pun meninggalkannya sendiri.

Tanpa diminta air mata Raya menetes begitu saja. Dia menyayanginya, tapi mengapa keadaanya harus seperti itu. Terperangkap dalam cinta yang diselimuti kekecewaan. Cinta dan kecewa yang berada dalam satu suasana.

Setelah dokter selesai memeriksa kondisi Raya, Satriya bergegas masuk untuk menjaganya kembali. Meyakinkan Samudra jika dia bisa menjaga Raya sendiri dan meminta semua keluarga Raya untuk beristirahat di rumah. Dimas sebenarnya tidak rela meninggalkan anak gadisnya pada laki-laki lain, tapi Samudra meyakinkannya.

"Nggak apa-apa kalau masih marah. Itu hak kamu. Tapi, jangan sampai kemarahan menguasai diri kamu dan buat kamu sakit lagi. Aku seneng kalau kamu marah. Itu artinya kamu juga sayang sama aku kan? Aku akan berusaha ngambil hati kamu lagi kayak dulu." Raya menahan air matanya untuk jatuh dan pura-pura tidur dengan wajah yang membelakangi Satriya.

Satriya menghela napasnya dengan pasrah. Dia sangat menyayangi Raya. Apa pun yang dia lakukan tidak pernah dia anggap sebagai berjuang, karena dia melakukan semua itu dengan tulus tanpa beban.

Setelah Satriya tertidur dengan meletakkan kepalanya di tepian ranjang, Raya membuka matanya dengan air mata yang menggenang. Dia sekilas melirik Satriya yang tidur dengan posisi tidak nyaman. Rasanya Raya ingin menjadi Nayla yang bisa melupakan ingatannya. Terlalu sakit untuk kembali mengingat penghianatan Satriya.

Dari awal yang dia takutkan tentang jatuh cinta adalah kecewa. Hatinya itu mudah terluka. Tak mudah menyembuhkan luka yang membekas. Bukan perkara memaafkan, tapi melupakan.

Perlahan matanya menutup kembali hingga air matanya menetes membasahi pelipisnya.

🍂

Paginya Satriya berniat menyuapi Raya untuk makan. Tapi, gadis itu justru memalingkan wajah dengan bibir tertutup rapat dan mata memejam. Seolah dia tidak mau berbicara maupun melihat Satriya sebentar saja. Satriya pun mengehela napas pasrah dan meletakkan kembali buburnya.

Satriya keluar dan mencari cara bagaimana Raya mau makan sampai meminta bantuan Samudra. Ternyata sama saja, Raya tetap tidak mau makan. Bahkan Juan yang paling cerewet saja tidak sanggup menghadapi sikap keras kepalanya.

Sampai akhirnya dokter memberi tahu jika itu wajar terjadi pada pasien seperti Raya. Dia akan kehilangan napsu makan. Dan mereka tidak perlu khawatir karena supply nutrisinya masih bisa didapat dari infus. Meskipun tidak semaksim makanan, tapi setidaknya bisa membantu proses pemulihannya.

🍂

Hari ketiga Raya menjalani rawat inap, tiga sahabatnya datang menjenguk. Mereka sebentar lagi akan berpisah, tak mau saling melupakan satu sama lain. Pagi-pagi sekali mereka sudah ada di kamar Raya membicarakan banyak hal. Itulah senyum pertama Raya.

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang