68. Akhir Kisahnya

1.9K 132 28
                                        

"Sayangnya, menggantikan seseorang tak secepat daun yang gugur laun semai."
🍂

Dengan terburu-buru Raya berjalan menuju ruang rawat Satriya. Entah mengapa perasaannya menjadi tidak karuan. Mimpi itu seolah pertanda tidak baik. Raya memang bukan peramal, tapi dia bisa merasakannya. Padahal sebelumnya dia tidak pernah peka dengan apa yang dia rasakan.

Tubuhnya mematung ketika sampai di depan ruang rawat Satriya. Melalui pintu kaca itu Raya melihat banyak dokter tengah menekan alat pacu jantung pada dada Satriya. Apa mimpi itu akan jadi nyata?

"Pa, Satriya kenapa?"

Samudra tidak bisa menjawab apa-apa. Dia terlalu takut untuk mengatakan. Lantas pandangannya tertuju pada Diana yang juga menunggu berita dari dokter.

"Bunda, Satriya kenapa? Satriya nggak apa-apa, kan?"

Respons yang sama lagi-lagi harus Raya dapatkan. Diana hanya menangis sambil membekap mulutnya. Tidak siap dengan kemungkinan terburuk yang akan menimpa Satriya.

Raya semakin frustrasi. Dia menjambak rambutnya sendiri dan duduk dengan menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya.

Pikirannya terlihat semakin kosong. Matanya hanya menatap lurus ke arah kamar Satriya dengan tatapan nanar. Dia melihat dokter menarik kain putih menutup tubuh Satriya sampai ke ujung kepala. Itu artinya Satriya telah pergi untuk selama-lamanya. Dia tidak akan pernah kembali lagi.

Tidak ada tangisan dari Raya. Dia seperti gadis yang jiwanya kosong. Baru saja bertemu dengan laki-laki yang membuatnya merasa cintai, tapi ternyata dia hanya pelipur laranya untuk senejak.

"Kamu jahat, Sat. Kamu terbangin aku sampai ke angkasa, lalu kamu buang aku ke dasar jurang. Kamu tahu? Rasanya sakit banget buat ngelepas kamu. Kenapa kamu buat aku jatuh cinta sama kamu kalau akhirnya kamu pergi ninggalin aku?"

Raya tiba-tiba tersenyum datar dengan mata yang memerah menahan tangisnya. Dia kembali menjadi Raya yang selalu menutupi perasaannya. Orang yang menjadi alasannya tersenyum dan menangis dengan bebas, telah pergi untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya dia menangis.

"Kamu lebih sayang ke Aurel, kan dari pada aku? Nggak apa-apa kok, Sat. Aku memang nggak pantes buat kamu. Semoga kamu bahagia di sana. Tanpa aku.

Aku di sini nggak baik-baik aja. Kamu tahu itu. Tapi, kamu tetep ninggalin aku. Aku terpaksa buat baik-baik aja. Aku nggak bisa bohong kalau kehilangan kamu itu sakit yang teramat sakit dari apa pun. Kasih tahu aku apa obatnya biar aku sembuh."

Semua orang sudah berhambur mengerubungi Satriya dengan isakan masing-masing. Tapi, Raya tetap diam di tempatnya. Menatap tubuh Satriya yang terbujur pucat.

Dia ingin teriak sekencang-kencangnya, tapi tak bisa. Ingin menangis sejadi-jadinya juga tak bisa. Semua itu terlalu sakit. Hanya bisa diam merasakan setiap hantaman rasa sakit yang bertubi-tubi.

Setelah semua orang pergi, Raya memaksakan diri mendekati Satriya. Menatap lebih dekat laki-laki yang telah mengambil alih semua perhatiannya. Tangan mungilnya itu bergerak merapikan rambut Satriya dengan lembut.

"Kalau mau pergi, harus ganteng ya, Sat," ucap Raya dengan tersenyum.

Lantas jemarinya bergerak menyentuh jemari Satriya yang sudah dingin. "Kamu titipan Tuhan yang terindah meskipun bukan milik aku. Makasih pernah jadi alasan aku buat senyum dan menangis."

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang