"Di dunia ini tidak ada yang gratis. Bahkan perasaan saja juga butuh balasan."
~🍂
"Mama... Papa...." Raya berjalan keluar kamar mencari kedua orang tuanya. Pasalnya hari sudah malam tapi mereka tak kunjung pulang. Apalagi langit mulai bergemuruh pertanda akan turun hujan.
Jujur saja meskipun umurnya tak lagi anak-anak Raya takut dengan yang namanya hujan apalagi petir. Gadis itu mulai gelisah hingga sekitar hidung dan matanya mulai gatal.
DUAR!
Jatuhlah tetes demi tetes air mata Raya bersamaan dengan air hujan yang deras mengguyur bumi. Gadis itu duduk mendekap lutut mematung di ambang pintu kamarnya. Takut, Raya sangat takut saat ini. Tidak ada satu orang pun yang menemaninya.
Kenapa mereka selalu tega meninggalkannya sendiri? Meskipun sejak kecil Raya terbiasa sendiri tapi tidak menjadi jaminan kebal terhadap rasa takut. Justru ketakutan yang dia alami semakin menjadi-jadi. Terkadang orang lain menganggap seseorang yang terbiasa sendiri itu pemberani. Itu salah besar dia hanya mensugesti dirinya untuk menutupi semua rasa takutnya.
Andai mereka tahu berapa banyak kekhawatiran yang bersarang dipikiran Raya. Gadis itu selalu menangis dalam diam menyalahkan dirinya sendiri kenapa dia menjadi orang yang payah tidak bisa menjadi orang yang disayangi.
Dia juga selalu takut ketika malam tiba. Dia tidak benar-benar bisa tidur dan berharap malam segera berakhir padahal dia sangat kelelahan dan butuh tidur. Itulah alasannya mudah tertidur tak tahu tempat.
🍂
"Ra... Kok lo pucet banget. Lo sakit?" Baru saja Satriya ingin menyentuh keningnya Raya langsung menepis dengan kasar
"Gak, Sat... Udah deh lo mendingan balik ke kelas lo!"
Satriya tak suka dengan sikap Raya yang seperti itu. "Kok lo jadi kasar gitu, Ra?"
"Udah, Sat... Lo pergi sana!" Raya mendorong Satriya menjauh darinya.
Satriya tetap bertahan ditempatnya. Saat ini laki-laki itu duduk di kursi Viola. "Gue gak akan pergi kalau lo gak kasih tahu ke gue lo kenapa."
"SAT!— Aw... " Karena membentak Satriya dengan nada tinggi, Raya tiba-tiba mengaduh dan memegangi dada kirinya. Spontan hal itu membuat Satriya panik.
"Lo kenapa, Ra? Lo sakit? Ke rumah sakit ya?"
"Pergi, Sat!" Raya benar-benar terlihat marah. Satriya hanya bisa menghela napas pasrah dan keluar dari kelas Raya dengan wajah kecewa.
Memastikan Satriya telah pergi Raya menjatuhkan kepalanya di atas meja sambil memegangi dada kirinya. Setetes air mata itu tak bisa dibendung lagi karena rasa sakit terus menjalar hingga lengan kirinya sulit untuk di gerakkan. Raya mengusir Satriya karena dia tidak ingin ada satu orang pun yang melihatnya kesakitan.
Raya pikir Satriya benar-benar pergi. Tapi pikiran Raya salah. Ternyata Satriya masih berada di depan kelasnya melihat dari luar jendela dengan tatapan iba.
🍂
Jarum jam menunjuk di angka 5 ketika matahari berada di barat. Raya bangun dari tidur siangnya dan merasakan badannya sudah mulai membaik. Gadis itu tidak pernah lama merasakan sakit. Dia cuma butuh satu hal yaitu tidur untuk mengistirahatkan tenaga dan pikirannya.
Mendengar bunyi dari perutnya membuatnya ingin makan sesuatu. Raya teringat ada kafe baru buka di dekat rumahnya. Tidak ada salahnya sesekali makan diluar.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA (End)
Novela Juvenil[Masih berantakan karena proses Revisi] Satriya hanya melihat Raya sebagai gadis yang menyukai Galang. Gadis itu sangat menjaga privasinya sampai tak ada yang tahu permasalahan sekecil apa pun yang menimpanya. Lambat laun Satriya semakin menemukan h...