Jangan Dibuka

19 4 0
                                    

Tio memekik kencang sekali, pasalnya dia baru saja menangkan duel poker bersama Anto. Double kartu As mampu menyelematkannya dari ToD yang udah dijanjikan dari awal. Sedangkan Mayer dan Sintong ketawa cekikikan melihat raut wajah Anto yang sudah putih memucat.

“Mampus kena lo!” Ucap syukur Tio pertama kali ketika Anto kalah dari dia.
Anto diam, meratapi nasibnya yang sebentar lagi bakalan apes. Mayer dan Sintong itu rajanya jahil, otaknya kreatif bukan untuk menciptakan peluang tapi untuk menciptakan jebakan. Ditambah juga Tio, dia selalu saja bikin kerjaan yang super rusuh.
“Lo gak boleh ngelak, To!” Ancam Mayer yang menyeringai rayakan kemenangannya. Kilat matanya membuat Anto meneguk saliva, sinyal bahaya di otaknya langsung menyala.
“Jangan macem-macem ToD-nya. Inget, gue temen lo semua.”
Sintong berdecak melawan kata yang keluar dari Anto tadi. Kalau gini, tandanya Anto bakalan habis.

Mereka bertiga menjauh dari Anto, saling berbisik untuk menentukan hukuman yang pantas buatnya. Kadang Mayer tidak setuju, lalu Tio menggeleng keras. Anto hanya berharap, semoga mereka masih punya hati nurani untuk meringankan hukuman.
“Oke, kita udah sepakat nentuin hukumannya buat lo.” Mayer berdehem sebentar melegakan tenggorokannya. “Lo harus ke gudang sekolah dan diam di sana selama sisa pelajaran hari ini.”
Gila! Anto langsung merinding ngebayanginnya, gudang sekolah tempat yang konon katanya tempat tinggal hantu paling menakutkan di sekolah. Pak Jajang -penjaga sekolah- pernah melihat sosok itu sedang berjalan pelan di lapangan saat malam.
“Jangan main-main sama sosok itu, dia tempramental.” Begitulah kata pak Jajang yang paling diingat oleh Anto dan sekarang dia harus berdiam diri di sana yang sama saja bunuh diri. Anto tidak pernah mau melakukan hal sekonyol itu.

“Enggak, gue gak bakalan mau. Lo tahu sendiri kalau tempat itu angker banget.” Anto memelas berharap ketiga temannya mengganti hukuman tersebut.
“Kalau begitu Lo harus cium Siti, anak kelas XII MIPA 3.” Anto berdecak malas, Siti yang biasa dipanggil baboon merupakan primadona di sekolahnya. Banyak yang deketin dia cuma mau ngatain aja. Bisa dibayangin kan betapa cantiknya?
“Enggak deh. Oke, gue pilih yang pertama.” Anto lemas, sendi-sendinya terasa copot. Sebentar lagi dia bakalan merasakan angkernya gudang sekolah. Dalam hati dia berharap, semoga hantunya sedang tidur.

Tio, Meyer, dan Sintong mengawasi dengan serius ketika Anto masuk perlahan ke gudang sekolah. Tempat itu memang tidak pernah dikunci, kata Pak Jajang percuma. Pernah suatu ketika karena ada barang berharga gudang dikunci pakai gembok, keesokan harinya gembok itu rusak. Parahnya gembok itu seperti meleleh dibakar suhu yang tinggi.

“Lama cepetan lo masuk.” Anto menatap ke dalam nyalang lalu perlahan tubuhnya hilang masuk ke dalam gudang. Meyer menampilkan wajah garangnya menutup pintu gudang, sedangkan Tio dan Sintong mengulum tawanya yang kemudian meledak.

“Kita gak keterlaluan apa?” Tanya Tio setelah dia puas tertawa.
“Biarin aja, biar tuh anak emang perlu dikerjain.” Jawab Meyer yang duduk pada bangku dekat gudang. Tentu saja mereka bertiga juga berjaga, katanya kalau Anto berteriak maka mereka bakalan langsung jemput ke dalam gudang. Jadilah mereka di sini, bolos sekolah cuma untuk main ToD.

Sudah hampir pulang sekolah, Anto tidak berteriak juga. Mereka bertiga hampir bosan menunggu. Meyer berdiri kemudian menghampiri pintu gudang.
“Lo mau ngapain?” Tanya Sintong yang juga ikutan berdiri, Tio juga sama.
“Mau lihat tuh bocah, kayaknya berani amat sampai sekarang gak teriak.” Meyer mengintip lewat lubang kunci, aura dingin langsung meniup matanya. Sintong dan Tio yang berdiri di belakang penasaran.
“Gimana?” Tanya Sintong menepuk bahu Meyer.
“Aneh banget, gak kelihatan sama sekali cuma warna merah kekuningan aja yang gue lihat. Kayaknya ada sesuatu deh yang ngalangin.” Meyer menjauh tiba-tiba dari lubang pintu, dia menggerakkan tubuhnya abstrak karena bulu kuduknya merinding semua. “Anjir, bulu kuduk gue naik semua.”
Sintong dan Tio saling bertatapan bingung, kemudian Sintong menarik bahu Meyer ke belakang. “Coba sini gue lihat.”
Sintong juga melihat hal yang sama, semuanya berwarna merah kekuningan. Setelah itu dia juga merinding, bahkan sampai mengusap kulit tangannya untuk menurunkan bulu yang sedang berdiri. “Di dalem ada apaan sih? Kok bisa merinding banget gue?”

Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang