Derap langkah kaki terdengar begitu nyaring menemani sepinya malam ini. Entah kenapa, aku merasa malam ini begitu sangat berbeda dengan malam sebelumnya, detak jantungku tiba-tiba berdebar dengan ritme yang cepat, dan angin dingin malam berhembus berbisik pada telinga.
Terdengar seseorang menangis tidak jauh dari tempat aku berjalan saat ini, aku berhenti melangkah dan menengokan kepala ke segala arah mencari sumber suara itu. Semakin jelas suara tangisnya saat kakiku dengan refleks berjalan menuju tempat yang begitu sepi dengan pohon rindang dimana-mana membuat bulu kudukku seakan tambah meremang katakutan.
Kuputuskan untuk berbalik arah dan kembali melanjutkan perjalanan pulangku yang tertunda. Namun, saat kakiku mulai melangkah dan memutar balik arah, mataku tidak sengaja menangkap sosok objek yang membuatku penasaran. Seorang gadis kecil sedang menangis di bawah salah satu pohon rindang di tempat itu. Ia mengenakan pakaian tidur bewarna putih, rambutnya ia biarkan tergerai menutupi wajahnya. Tapi, apa itu di bajunya? Berwarna merah, seperti… darah?
Aku pun mulai penasaran, kenapa gadis itu menangis sendirian di bawah pohon rindang di malam hari dan di tempat sepi seperti ini, dengan bercak darah di baju tidur putih motif bunganya itu.
Tanpa rasa takut sedikitpun, aku menghampiri gadis kecil itu. Setelah jarak kami sangat dekat, aku pun berjongkok di depannya mensejajarkan posisi kami. Lantas meraih pundak gadis yang bergetar mungkin karena tangisnya.Tapi, apa ini? Mataku menyipit melihat begitu banyak sekali luka di tangan dan kakinya. Siapa yang tega melakukan hal seperti ini kepada gadis yang aku yakini baru berumur 8 tahun ini. Sungguh malang nasib gadis ini, masih kecil sudah dianiyaya dengan keji seperti ini.
“Dek?” kuraih pundak tangan gadis ini, ia berjengit. Mungkin kaget melihat kedatanganku yang tiba-tiba? Gadis itu menatapku dengan tatapan takut, seketika tubuhnya bergetar.
“Siapa kau?! Tolong jangan bawa aku pulang!! Aku tidak ingin pulang!! Aku tidak ingin pulang!!” teriak gadis itu histeris, membuatku berjengit kaget. Dapat kurasakan ketakutan yang melanda gadis itu. Terlihat dari mukanya yang mendadak pucat sepucat mayat, dan tangan, kaki, serta badan yang bergetar hebat.
“Tunggu, jangan salah paham dulu” ucapku meraih tangan gadis itu, mencoba menenangkannya. “Oke, saya tidak akan membawamu pulang, karena saya tidak tau siapa dan berasal dari mana kamu. Tapi, saya hanya ingin bertanya, kenapa kau bisa ada di sini? Gadis kecil sepertimu tidak baik berada di tempat yang sepi seperti ini. Bagaimana jika ada yang melihatmu dan berniat jahat kepadamu?”.
Gadis itu terdiam, menatapku dengan air mata yang mengalir. “Siapa namamu?” tanyaku dengan lembut, barangkali ia ingin berbicara. “Arylin” jawabnya, membuat aku menautkan kedua alisku. Jika ditelaah dengan seksama, gadis ini memiliki hampir setiap lekukan yang mirip denganku.
“Arylin?” beoku. Gadis itu mengangguk dan menatapku, “Nama kakak juga Arylin kan? Kakak cantik, dan mirip denganku” ucap gadis itu tersenyum manis ke arahku, aku pun tersenyum ke arahnya. Entah mengapa, melihat Arylin kecil, seperti melihat diriku sendiri.
“Baiklah jika kamu tidak ingin aku antar pulang, bagaimana jika kamu ikut saja denganku ke rumahku” sebenarnya itu lebih ke pernyataan bukan pertanyaan. Gadis itu terdiam, mungkin sedang berfikir. Beberapa detik kemudian ia mengangguk, dan aku anggap itu sebagai jawaban.Kami pun sampai di rumahku tepat pukul 21.00 WIB. Kupersilahkan dia untuk menenangkan diri di kamar yang dikhususkan untuk tamu. Sementara aku pergi ke kamarku untuk mandi dan beristirahat.
Waktu telah menunjukan pukul 23.00 tengah malam. Aku masih terjaga, tidak bisa tidur. Aku masih gelisah dangan pikiranku. Siapa gadis itu? Dari mana asalnya? Kenapa dia menangis? Kenapa dia tidak ingin pulang? Kenapa tubuhnya dipenuhi dengan luka?
Saat mataku mulai kupaksakan untuk terpejam, suara ketukan pintu kamarku membuatku untuk menunda tidurku. “masuk!” teriakku mempersilahkan masuk. “Apa aku mengganggu kakak?” Tanya gadis yang tadi mengetuk pintu kamar setelah ia membuka sedikit celah untuk masuk ke dalam kamarku.
“Oh kamu. Tidak Lin, ayo masuk” ia pun masuk setelah menutup kembali pintu kamarku. “Sini duduk” ucapku menepuk kasur tidurku agar dia duduk di sebelahku. Ia pun menurut. “Ada apa?” tanyaku to the point.
“Aku ingin bercerita kenapa aku berada di tempat itu malam-malam dengan keadaan menangis dan baju yang dipenuhi bercak darah. Pasti kakak bertanya-tanya, kan?” Dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tak menjawab apapun, dan juga tidak memberi respon apapun padanya. Jujur, aku pun penasaran dengan gadis ini.