Di jalan ramai warga desa yang mengikuti Widya. Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang.
"Wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek. (sudah dicari sampai ujung Hutan *********** gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah mikir buruk)."
Sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.
Ketika Widya melihat rumah penginapan mereka, Widya melihat banyak sekali orang berkumpul di sana, dan saat mata mereka melihat Widya, semuanya hampir tercengang tidak habis pikir. Seperti melihat hantu lalu, terlihat dari dalam, Pak Prabu keluar, wajahnya mengeras melihat Widya.
Mata Pak Prabu mendelik, melihat Widya.
"Tekan ndi ndok (dari mana kamu nak)?"
Widya tidak menjawab apa yang Pak Prabu tanyakan, si ibu juga menenangkan Pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.
Saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu dipenuhi orang yang duduk bersila. Mereka mengelilingi 2 orang yang terbujur, tubuhnya ditutup selendang, diikat dengan tali putih, menyerupai kafan, Wahyu dan Anto menatap kaget saat Widya masuk.
"Wid, tekan ndi awakmu (dari mana kamu Wid)?" ucap Nur yang langsung memeluk Widya.
"Onok opo iki Nur (ada apa ini Nur)?"
Nur menutup mulutnya, tidak tahu harus memulai dari mana, sampai Wahyu berdiri.
"Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa ditutup"
Widya mendekati Ayu, di sampingnya ada Bima, ia terus menerus menendang-nendang dalam posisi terikat itu, layaknya seseorang yang terserang epilepsi. Matanya kosong melihat langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berdaya, sontak Widya ikut menjerit sebelum ada yg menenangkan.
Dari pawon, mbah Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya.
"Sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)."
Mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakannya.
"Koncomu wes kelewatan."
"Pripun mbah (bagaimana mbah)?"
"Yo opo rasane dikerubungi demit sa'alas (bagaimana rasanya dikelilingi makhluk halus satu hutan)?"
Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadarannya.
"Nyoh, diombe sek (nih, diminum dulu)
Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang menohok membuat tenggorokan Widya seperti dicekik, membuat Widya memuntahkannya, begitu banyak muntahan air liur Widya yang keluar. Ia melihat mbah Buyut yang tampak mengangguk, seperti memastikan.
"Koncomu, ngelakoni larangan sing abot, larangan sing gak lumrah gawe menungso opo maneh bangsa demit. (temanmu, melakukan pantangan yang tidak bisa diterima manusia, apalagi bangsa halus)," kata mbah Buyut sembari geleng kepala.
"Paham ndok (paham nak)?"
Widya mengangguk.
"Sinden sing digarap, iku ngunu, sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing mok parani wingi bengi. (Sinden yang kamu kerjakan, itu kembar, satu di dekat sungai, satu yang kemarin malam kamu datangi)."
"Eroh opo iku sinden (tahu kegunaan sinden)?"
"Mboten mbah (tidak tahu mbah)."
"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. Nah, sinden sing cidek kali, gak popo digarap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh diparani, opo maneh sampe digawe kelon. (Sinden itu tempat mandinya para penari sebelum tampil. Nah, sinden yang di dekat sungai tidak apa-apa dikerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh didatangi, apalagi dipakai kawin)."